Kolom Eko Kuntadhi: ANIES MENOLAK REKLAMASI — Ancol Dipersilahkan Mengurung Laut

“Saya menolak reklamasi,” ujarnya di atas panggung debat kampanye Pilgub Jakarta. Bibirnya yang tipis disapu oleh lidahnya. Dan kita tahu, reklamasi di teluk Jakarta dasarnya adalah Keputusan Presiden. Dikeluarkan sejak Jaman Soeharto. Bagaimana mungkin sekelas Gubernur menolaknya?

Tapi itu adalah panggung politik. Tempat dimana kebohongan gampang diucapkan. Dan mantra-mantra disemburkan. Kadang disertai dengan nama Tuhan.

“Saya menolak reklamasi,” katanya lagi.

Berkali-kali. Seperti mantra. Ia ingin mengukuhkan betapa keras pendiriannya. Ia tabrak aturan di atasnya.

Reklamasi memang hendak dilaksanakan di teluk Jakarta. Desain sudah dibuat. Sebagian sudah mulai dikerjakan. Ada beberapa pulau buatan. Diusahakan oleh para pengembang. Bukan hanya itu, reklamasi Teluk Jakarta juga dibuat untuk menahan abrasi tanah di pinggiran Jakarta dari air laut. Juga menahan air rob.

Gubernur sebelumnya sadar, ia cuma Gubernur. Sementara reklamasi Teluk Jakarta itu urusannya Keppres. Keppres hanya bisa dibatalkan dengan Keppres. Makanya, Gubernur sebelumnya lebih berfikir bagaimana memanfaatkan proyek reklamasi itu buat rakyat.

OK. Pengembang monggo membuat pulau reklamasi. Tapi pulau itu intinya tetap punya pemerintah. Jika ingin dikomersilkan, mereka wajib membayar retribusi tambahan 15% dari NJOP. Jika benar terlaksana, Jakarta akan mendapatkan ratusan triliun dari sana. Itu yang dipikirkan Ahok.

Tapi, politik tidak butuh pikiran panjang. Tolak. Berangus. Gak usah pakai pertimbangan berbelit-belit. Jadi Gubernur sudah bisa bertindak mirip seorang raja. Mengabaikan aturan di atasnya.

Itu baru satu sesi. Sesi yang lain lebih gila dalam ajang Pilgub adalah soal kampanye agama. Pilihlah Gubernur seiman. Apalagi dia menolak reklamasi Teluk Jakarta. Meski bukan wewenangnya.

Bermodal kampanye mengasong agama itulah Anies menang. Ia menjabat Gubernur. Pendukungnya bersorak. Gubernur yang berani menolak reklamasi. Meski alasannya kacau.

Kini Anies mengeluarkan keputusan Gubernur. Mengijinkan Ancol memperluas tanahnya dengan menguruk laut. Juga Dunia Fantasi. Luas arealnya 155 hektar. Ini bukan reklamasi. Itu hanya laut yang diuruk. Anies memberi istilah lahan kategori daratan. Sekali lagi bukan reklamasi!

Saya menolak ganja. Itu narkoba. Tapi kalau cimeng, gak masalah. Begitulah.

Jangan bingung. Lidahnya hanya bilang menolak reklamasi. Bukan menolak laut yang diurug. Bukan menolak pulau buatan. Bukan menolak komersialisasi pulau buatan itu.

Urug laut boleh sama. Diusahakan untuk bisnis boleh sama. Tapi namanya bukan reklamasi. Hanya laut yang diurug. Dan lokasinya bukan di Teluk Jakarta sesuai keputusan Presiden dulu. Ia mencari lokasi lain. Lokasi yang ditentukan sendiri. Dilakukan begitu saja. Wong, Gubernur rasa Presiden.

Sebagian orang marah. Merasa ditipu janji kampanye. Eit, tunggu dulu. Ente beneran mau marah? Di pulau buatan itu akan dibangun masjid terapung dan museum Nabi. Ente berani melawan dakwah? Kapir ente!

Yang lebih bingung lagi. Ground breaking masjid buatan sudah dilajukan 2019. Eh, rencana reklamasinya baru keluar 2020. Jadi, dulu ground breakingnya di lokasi mana?

Dan orang yang merasa tertipu itu makin bingung. Mereka harus dihadapkan dengan syiar agama. Meski dari 155 hektar pulau buatan itu, paling hanya 10 hektar untuk lokasi masjid dan sisanya akan dikomersilkan.

Itulah enaknya jualan agama. Semua kebohongan janji kampanye bisa dibungkus rapih. Siapa yang berani melawan, hukumnya sesat!

Salah sendiri. Kenapa dulu memilih Gubernur hanya mempertimbangkan karena seagama. Bukan kualitas dan kemampuannya. Kalau sekarang agama yang dibuat kedok kebohongan janji kampanye, gak masalah, dong?

“Saya hanya menolak reklamasi. Menolak reklamasi bukan berarti tidak melaksanakannya. Saya hanya mengijinkan mengurug laut buat lahan komersil,” begitu mungkin alasannya.

“Dan setelah mendengar alasan itu, warga Jakarta ramai-ramai beli koyo cabe. Ditempel di keningnya,” celetuk Abu Kumkum.

Pening!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.