Kolom Daud Ginting: ANTI MONEY POLITICS SEBUAH EVOLUSI

Bicara tentang Pilkada tanpa ada permainan “Money Politics”, atau meminimalisir praktek menyogok calon konstituen dengan uang untuk mempengaruhi pilihannya, selalu menarik diperbincangkan. Bahkan sangat debatable. Dalam berbagai pelaksanaan survey politik, selalu muncul variabel pertanyaan tentang “Apakah anda setuju dengan “Money Politics ?”

Atau Pertanyaan “Apakah pilihan anda ditentukan oleh “Money Politics”?

Umumnya responden akan memberikan jawaban mengambang, bahkan cenderung tidak jujur. Mereka sadar bahwa perilaku menerima uang dalam menentukan pilihan itu tidak baik, tetapi mereka mau juga melakukannya.

Maka hal ini tak ubahnya bagaikan “Kebiasaan buruk yang terpelihara dengan baik”.

Tetapi tidak layak juga melulu menyalahkan konstituen sebagai pihak yang paling bersalah dalam praktek money politics. Calon yang hendak dipilih juga memiliki dosa besar, karena merekalah yang menawarkan uang itu. Sederhananya, kalo tidak ada calon yang menawarkan “Uang” kepada calon pemilih, sudah barang tentu tidak akan terjadi proses praktek money politics.

Memang mencari akar masalah, atau sumber masalah timbulnya praktek money politics ini ibarat mempertanyakan “Mana duluan ada telur atau ayam ?” Melimber kan?

Baiklah, kita lupakan saja dulu siapa yang salah dalam hal itu. Kita coba bicara tentang, “mungkinkan praktek money politics sirnah, atau sama sekali tidak terjadi dalam suatu Pilkada ?” Jawabannya, tentu “Apa yang tidak mungkin di dunia ini !!!”

Di beberapa daerah ada terbukti terpilih seorang kepala daerah bukan karena melalui permainan money politics. Hal itu bisa terjadi karena si calon merupakan figur idola dan harapan masyarakat umumnya. Tetapi sudah barang tentu hal itu tidak terjadi dengan gampang begitu saja bagaikan sesuatu yang tiba-tiba turun dari alam khayangan.

Semuanya butuh proses, dan setidaknya seorang calon telah memiliki modal sosial sebagai keunggulan komperatif sebagai nilai lebih yang layak menarik rasa senang, suka, dan memiliki daya tarik untuk dipilih.

Nah, karena itu, memang dibutuhkan suatu proses dan perjuangan untuk sukses dalam mempraktekkan Pilkada tanpa money politics. Apalagi di tengah kecenderungan yang terjadi dewasa ini dimana praktek money politics sudah bagaikan perilaku yang dianggap lajim saja terjadi.

Tidak dianggap salah. Dianggap pula sebagai ritual yang wajib terjadi.

Namanya kebiasaan, apalagi sudah membudaya. Jika ingin dirubah maka dibutuhkan proses sistematis pergeseran kesadaran maupun pergeseran kerangka berpikir (mindset change). Merubah cara berpikir seseorang bukan merupakan pekerjaan mudah, karena hal itu akan mengganggu rasa nyaman seseorang.

Sekali lagi, apapun bisa terjadi di dunia fana ini. Merubah cara berpikir seseorang juga bisa dilakukan tetapi butuh cara yang tepat dan butuh proses. Perubahan itu bisa terjadi jika muncul kesadaran sendiri dari dalam diri seseorang, atau karena ada pengaruh dari luar diri seseorang.

Perubahan yang muncul dari dalam diri seseorang bisa saja terjadi karena munculnya kesadaran diri secara otomatis, karena pengalaman traumatis yang menimbulkan “Metanoia”. Tapi, semua itu tidak dapat terjadi dengan mudah karena sudah merupakan hukum alam, bahwa sebuah perubahan akan menimbulkan rasa tidak nyaman, sakit.

Bahkan adakalanya menyiksa. Sehingga, jika seseorang ingin berubah maka harus siap menerima efek tidak menyenangkan terhadap diri sendiri. Itu butuh pengorbanan dan kerelaan.

Tetapi, sesungguhnya, lebih baik melakukan perubahan dengan kesadaran dari dalam diri sendiri sebelum faktor dari luar diri sendiri yang memaksa terjadinya perubahan itu. Karena, justru itu lebih menyakitkan. Bisa menimbulkan pengalaman traumatis.

Kemudian muncul pertanyaan, “Apa yang mesti dilakukan Paslon Bupati untuk merubah kebiasaan praktek money politics ?” Jawabnya, iya harus mampu meyakinkan para konstituen/ calon pemilih bahwa praktek money politics itu tidak benar dan tidak baik.

Untuk itu tetap dibutuhkan proses panjang. Atau tahap demi tahap proses menggeser cara berpikir seseorang. Terutama melalui cara menanamkan kesadaran baru berbentuk pengetahuan baru untuk merubah perilaku seseorang dari cara yang lama ke cara baru.

Uniknya, cara paling mudah memberi pengetahuan yang bisa dengan cepat diterima oleh orang lain adalah melalui cara menunjukkan kenyataan atau realita. Umumnya seseorang akan percaya apabila melihat sesuatu, bahkan ada juga baru percaya bila sudah menyentuh sesuatu. (Jadi ingat Thomas murid Jesus).

Berat amat ia memperjuangkan perubahan sesuatu?

Itulah tantangan yang mesti diwujudkan jika ingin melakukan perubahan untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik, lebih enak, dan yang lebih menyenangkan. Sesuatu yang lebih baik dan lebih indah itu pada umumnya akan lebih nikmat rasanya jika diperoleh melalui cara yang sulit dan penuh tantangan.

Bandingkan dengan pengalaman para “Pendaki Gunung” (The Climber). Jika dipikir-pikir dengan cara lugu, kan seperti kurang kerjaan saja pendaki gunung itu. Capek dan sangat menguras tenaga mendaki, bahkan nyawa sendiri jadi taruhan karena terancam maut. Apa tidak ada kerjaan lain?

Upsss – tunggu dulu Bro -.Tanya juga kepada para pendaki gunung gimana rasanya jika berhasil mencapai puncak tertinggi sebuah gunung. Apalagi itu gunung tertinggi di dunia ini. Rasa puas dan nikmat adakalanya tidak bisa diucapkan dengan kata-kata, tetapi nikmatnya tiada tara.

Demikian halnya dalam proses merubah kebiasaan money politics dalam Pilkada. Gampang-gampang susah. Penuh tantangan. Perlu kerja keras dan butuh kerelaan serta ketulusan.

Sudah siap kah kita? Akhir kata “Selamat Berpikir Merdeka”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.