Apa Untungnya Pajak Delitua?

Oleh: Bastanta Permana Sembiring

 

bastanta

Pajak delitua 1
Pajak Delitua saat diratakan oleh Pemkab Deliserdang. Foto: IMANUEL SITEPU

“Terus kalau orang lain sudah tau kita orang karo untuk apa?” demikianlah sebuah komentar di salah satu photo yang saya unggah kemarin di grup facebook JMS (Jamburta Merga Silima). Menurut saya ini bernada pesimis, tidak peduli, anggap remeh, ataupun merasa tidak berguna.

 

Saya jadi ingat tulisan saya beberapa Minggu yang lalu di SoraSirulo.com yang berjudul: Pajak Delitua, Kenangan Nan Jauh di Mata. Mungkin bagi sebagian orang, khususnya non-Karo ataupun orang Karo yang tidak pernah tinggal di Karo Jahé menganggap penggusuran pasar yang dalam bahasa Karo disebut pajak di Delitua ini hal yang biasa dan wajar. Mengingat kondisi pasar yang becek, bau, semrawut, dan menimbulkan kemacetan. 

Namun, bagi saya dan juga beberapa teman lainnya akan menganggap apa yang dilakukan oleh Pemkab Deliserdang tidak tepat dan tidak etis. Menurut saya, pemerintah yang berhasil bukanlah pemerintah yang menghapus masa lalu dan menggantinya dengan yang baru, yang menurut mereka lebih baik. Tetapi, memperbaiki masa lalu dengan polesan kekinian. Sebab, jika demikian, kenapa tidak bunuh saja para penjahat dan menggantinya dengan manusia baru?

Pajak delitua 2
Sumber: https://delituablog.wordpress.com

Bagi kami Suku Karo di Jahé-jahé, Delitua merupakan salah satu rumahnya Suku Karo. Di situ, kebudayaan dan eksistensi Karo Jahé tampak. Salah satunya Pajak dan Tiga Delitua. Kota kecil ini bercerita tentang leluhur kami di masa lampau, dimana sebuah kerajaan yang secara luas dikenal dengan nama Haru Delitua atau kami orang Karo katakan Kesebayaken Delitua pernah berdiri dan eksis. Di sanalah Nini Seh Ngenana Beru Sembiring Meliala atau yang dikenal dengan Putri Hijau bersemayam di singgasananya, yang dengan paras cantiknya menggetarkan setiap hati. Sampai-sampai Aceh-pun tidak hentinya bermimpi akan dia, hingga menebar emas dan perhiasan mahal di zamannya pun dilakukan. 

Sebagian dari kami, khususnya lagi merga Sembiring Meliala yang merasa masih satu darah keturunan Puteri Hijau, masih rutin menghatur sujud sembah kami kepada Nini Beru Meliala sebagai tanda hormat dan kesetiaan di Pancur Gading, sekitar 5 kilometer dari Pajak Delitua.

Dari berita pagi ini yang saya baca, “Mirisnya, bukan saja kios pedagang yang diratakan, rumah warga yang telah berdiri sejak 1941 juga ikut dirubuhkan,” kata Sembiring.

Ini soal kearifan lokal dan sejarah. Mungkin karena jasa-jasa orang Karo Delitualah Republik ini merdeka di tahun 1945, atau mungkin karena jasa orang Karo Delitualah kabupaten yang memberi pekerjaan dan jabatan kepada anda-anda hai sinatang layar-layar Kabupaten Deliserdang berdiri di tahun 1946.

Bolehlah saya bertutur, Sebelum engkau ada hai, Indonesia. Sebelum ayahmu bernafsu atas ibumu, hai Deli Serdang, nenek moyangku telah mendiami bumi ini.

“Apa untungnya?” Kata Sinuraya. Demikian saya membacanya.

Kataku, siapa yang mau bela hak Merga Silima (Karo)? Hanya orang Karo itu sendiri! Siapa yang mau mendukung orang Karo dalam perjuangannya? Jawabnya, mungkin tidak hanya orang Karo. Tetapi, orang-orang yang tahu dan mengerti kalau Karo itu yang punya Karo Jahé yang kemudian orang katakan Tanah Deli.

Siapa yang percaya saya sebut Karo Jahé? Sekarag hampir tidak ada! Besok? Mungkin. Tetapi kalau tidak “omongkan…. omongkan…. omongkan….!” kata M.U. Ginting, darimana orang tahu? 

Tanya lagi apa untungnya?

Jawab saya: “Kabupaten Karo itu pun kalian tentunya akan terusir, jika namanya bukan Kabupaten Karo.”

Mengapa kalian mengeluh saat kesusahan mendapatkan akses ke sumber-sumber kekuasaan, kehidupan, dlsb?

Jadi, apa untungnya? Jawab sendiri.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.