BALAS DENDAM BELANDA DI SAPARUA

Oleh: Frieda Amran (Antropolog, tinggal di Belanda)

Pertengahan Mei 1817. Benteng Duurstede di Saparua diserang oleh orang-orang yang memberontak terhadap Belanda. Para pemberontak garang itu dipimpin oleh seorang lelaki bernama Thomas Matulesia. Ia juga dikenal sebagai Thomas Matulessy. Setelah bertempur sejak dini hari sampai sore, benteng Belanda itu jatuh ke tangan Thomas Matulesia.

Residen dan keluarganya serta orang Belanda lainnya di benteng itu tewas.

Kini, bila suatu peristiwa dahsyat seperti itu terjadi, pastilah dalam detik berikutnya, atau bahkan pada saat pemberontakan itu sedang terjadi, gambar-gambar digital sudah langsung melanglang berkeliling dunia.

Beritanya pun segera menyebar melalui telpon, whatsapp dan media sosial lainnya. Kemungkinan besar, beritanya juga tayang di akun-akun facebook dan aku yang tinggal di negeri Belanda akan ikut deg-degan membacanya.

Tetapi, pada tahun 1817, belum ada telpon, whatsapp dan facebook. Pada tahun 1817, ketika jasad-jasad Belanda bergelimpangan di Benteng Duurstede, berita tentang kejadian itu baru terdengar bila dan ketika ada orang yang turun gunung (dari benteng), berjalan ke pantai, naik perahu dan mendayungnya– 4 atau 5 hari atau seminggu?– dari Saparua ke Ambon untuk melaporkan hal itu kepada tentara-tentara di markas militer di sana.

Mungkin orang yang akhirnya membawa berita itu menyeberang pulau tidak melaporkannya kepada Belanda, melainkan menceritakan kejadiannya kepada teman atau kerabatnya yang kemudian menceritakannya lagi kepada orang lain yang meneruskan cerita ke si ini dan si itu sampai akhirnya, kabar burung itu sampai juga ke telinga Belanda.

Bagaimana pun, akhirnya berita mengenai pemberontakan itu sampai ke Ambon. Segera saja, 200 orang tentara berangkat ke Saparua. Empat hari kemudian, pada tanggal 20 Mei ketika mereka tiba, pasir Saparua memerah oleh darah sebagian besar anggota pasukan Belanda itu. Hanya 30 orang serdadu Belanda yang berhasil menyelamatkan diri.

Pemberontakan itu kemudian menyebar ke Pulau Nusa Laut, pesisir Selatan Seram dan Hitu, di Pulau Ambon. Kurasa, hati orang Belanda di Ambon kebat-kebit setiap kali melihat orang-orang berkulit sawo matang di sekeliling mereka.

Bayangkan. Dalam pertempuran besar yang pertama, mereka keok. Lebih dari keok bahkan, karena tak seorang pun dibiarkan hidup! Serangan ke dua, yang dimaksudkan sebagai serangan dan penghukuman orang Saparua juga gagal total. Hanya 30 orang saja yang selamat.

Belanda kembali mengerahkan pasukan dan memberangkatkannya lagi ke Saparua. Aksi militer ke tiga. Huell, seorang perwira Belanda yang ikut dalam ekspedisi militer ini sempat menulis laporan yang mendetil tentang jalannya pertempuran itu (Sayangnya, terlalu panjang untuk kuceritakan kembali di sini).

Tentara Belanda baru berhasil merebut kembali benteng Duurstede di awal bulan Agustus, tiga bulan setelah Thomas Matulesia menyerang dan menaklukkan benteng itu. Barangkali diam-diam para petinggi Belanda di sana waktu itu bertepuk dada. Walaupun demikian, situasi di Saparua belum dapat dikatakan aman untuk Belanda dan mereka sendiri belum dapat betul-betul puas bila ‘biang kerok’ pemberontakan itu, Thomas Matulesia, belum tertangkap.

Berbulan-bulan mereka perlukan untuk mencari Thomas Matulesia. Dan, akhirnya pada tanggal 12 November, mereka berhasil menangkapnya dan membawanya ke Ambon. Empat hari kemudian, Pattimura dan tiga orang lagi, dihukum mati.

Van Huell menulis: Thomas Matulesia adalah lelaki yang kira-kira berumur 34 tahun. Ia berperawakan tinggi, kurus dan berkulit gelap. Wajahnya tak menampakkan ekspresi, seolah-olah ia sedang tenggelam dalam renungannya. Sejak ditangkap, ia selalu mengenakan seragam militer.

Di bahunya, epolet yang diambil dari seragam Mayor Beetjes yang tewas dalam pemberontakan besar. Ia juga mengenakan penutup kepala yang dihiasi dengan bulu-bulu dan di pinggangnya terselip pedang.

Pada tanggal 16 Desember 1817, hukuman dijatuhkan kepada Thomas Matulessy dan tiga orang anak buahnya–yang juga dianggap memimpin pemberontakan (tidak disebutkan siapa saja ketiga orang itu). Mendengar vonis yang dijatuhkan padanya, sesaat ia mengangkat kepala.

Thomas Matulesia dihukum gantung. Setelah menghembuskan nafas yang terakhir, jasadnya akan dibiarkan tergantung di dalam sebuah kandang besi sampai dengan sendirinya hancur menjadi abu. Itu dilakukan sebagai peringatan agar tak ada lagi orang yang berani memberontak melawan Belanda.

Thomas Matulesia, Pattimura, menundukkan kepala. Ketiga anak buahnya digantung lebih dahulu. Lalu, tiba gilirannya. Tanpa menunjukkan wajah takut, ia menaiki tangga tiang gantungan. Di atas, algojo melingkarkan tali di lehernya. Penuh wibawa, ia menatap para hakim yang telah menjatuhkan vonis itu.

“Selamat tinggal, tuan-tuan,” katanya.

Sedetik kemudian, lantai di bawah kakinya ditarik. Seorang pahlawan Saparua telah pergi.

Banyak orang yang menyaksikan hukum gantung itu. Barangkali memang warga setempat diperintahkan datang menyaksikannya agar mereka gentar dan takut. Orang Belanda di Ambon pun beramai-ramai datang menonton.

Di antara orang-orang Belanda di sana, tampak seorang bocah lelaki. Sepertinya umurnya belum sepuluh tahun. Kulitnya yang putih tampak agak gosong oleh matahari.

Siapakah anak itu? Dan, mengapa anak sekecil itu datang menonton hukuman gantung yang mengerikan itu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.