Kolom Eko Kuntadhi: BANGSA PALING PUNYA HARAPAN

Jerman baru saja menggelar demonstrasi besar. Isinya orang-orang yang minta dibebaskan dari physical distancing. Mereka begah, kudu di rumah saja padahal ekonomi morat-marit.

Bukan hanya di Jerman. Di Spanyol, Perancis dan AS juga terjadi hal yang sama.

Di AS, yang jadi isu adalah kebebasan. Padahal ujung-ujungnya ekonomi juga. Selama Covid19 ini, AS telah menambah 33 juta pengangguran baru. Iya, 33 juta orang kehilangan pekerjaan!

Pemerintah memang memberi bantuan. Tapi yang namanya bantuan, pasti sekadarnya. Hanya pas untuk bertahan hidup. Sementara di negara yang super individualis itu, kebiasaan sosial untuk saling menjaga tetangga sudah lama meluntur. Semuanya diserahkan pada sistem pemerintahan.

Pada suasana normal, sistem di pemerintahan memang bisa menghandle pegangguran. Misalnya dengan tunjangan sosial para pengangguran.

Tapi, pada situasi yang gak normal kayak sekarang, dengan kenaikan angka pengangguran yang meroket, sistem di semua negara gak mampu lagi menanggung beban yang maha berat itu.

Diperlukan semacam solidaritas sosial yang bisa ikut menambal kekurangan sistem. Untung saja di Indonesia kita masih memiliki solidaritas sosial seperti itu. Lihat saja. Rakyat turun tangan membantu tetangganya yang kesusahan. Donasi dikumpulkan. Bahkan di Jawa Tengah, Gubernur Ganjar memperkenalkan program Jogo Tonggo, yang artinya jaga tetangga.

Sebab birokrasi, sehebat apapun, tidak mungkin sanggup memantau semua kehidupan rakyatnya dengan detil. Untuk memastikan semua baik-baik saja, yang dibutuhkan adalah saling perhatian ke sesama tetangga dekat. Gerakan ini adalah kombinasi antara sistem pemerintahan dan modal soliritas sosial yang dimiliki rakyat.

Suasana memang berat. Covid19 yang membuat manusia harus mengurangi pertemuan dengan manusia lainnya telah melahirkan badai dalam perekonomian. Semua negara kena imbasnya. Semua lapisan masyarakat kena batunya.

Di negara-negara maju, tidak semua orang bisa mencari pendapatan alternatif ketika kethilangan pekerjaan. Mau buka rumah makan, sistem hukum mengharuskan mereka punya sertifikat ini-itu. Misal, sertifikat dapur yang higienis. Sertifikat memasak. Dan sebagainya. Gak bisa sembarangan membuka warung rumahan begitu saja.

Semua transaksi harus melewati pajak. Polisi perpajakan sangat ketat memelototi rekening rakyatnya.

Mau jadi tukang ledeng, harus ada sertifikatnya. Mau jadi kapster salon, juga butuh sertifikat. Mau buka bengkel, harus ada sertifikat. Sebab ekonomi negara-negara maju semuanya masuk dalam sistem. Ada sih, ekonomi informal. Tapi jumlahnya gak besar dibandingkan keseluruhan.

Bandingkan dengan di Indonesia. Mungkin ada pekerja yang kena PHK ketika pendemi begini. Untuk survive, misalnya, ia dan istrinya bisa masak di rumah. Lalu hasilnya dijajakan via medsos ke tetangga.

Ada juga yang membuat masker dijual di pinggir jalan. Menjajakan takjil saat sore Ramadhan. Bikin bimbel kelas rumahan. Atau beternak lele di ember, lantas dijual di pasar dekat rumah.

Semua transaksi itu tidak ada pajaknya. Tidak tercatat dalam sistem keuangan.

Ekonomi nonformal, yang tidak tercatat dalam sistem keuangan negara, punya kemampuan untuk membantu menyelesaikan masalah ketika suasana sedang krisis.

Ketika ekonomi formal dan sistem kenegaraaan sehebat apapun tidak mungkin bisa menghandle semua permasalahan ekonomi rakyat yang diakibatkan krisis ini, ekonomi informal tampil sebagai bamper.

Indonesia sendiri ada puluhan juta orang yang selama ini bekerja di sektor informal dan usaha kecil. Sebagian pekerja itu, mungkin saja tercatat dalam sistem pencatatan formal sebagai pengangguran. Padahal, gak juga kan?

Nah, para korban PHK di Indonesia biasanya untuk sementara beralih ke sektor informal ini. Mereka bergerak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Memang sih, suasana sedang sudah. Sektor informal juga kena imbasnya. Tapi kemampuannya bertahan jauh lebih kuat dari sektor formal.

Pemerintah sadar, sektor ini yang harus duluan ditopang. Sebab daya liatnya lumayan. Kepada korban PHK, angkatan kerja baru dan para pekerja di sektor ini program kartu prakerja dirumuskan. Tujuannya bukan hanya untuk menjadikan orang bekerja di sektor formal, seperti di pabrik atau perkantoran. Tetapi juga meningkatkat skill dan kemampuan para pekerja sektor informal.

Sayangnya krisis melanda. Pelatihan jadi gak efektif. Tapi uang saku yang didapat mereka sekitar Rp2,5 juta, mungkin saja bisa jadi tambahan modal untuk menggeluti sektor informal. Sekadar bernafas di saat suasana krisis begini.

Percayalah, apa yang tidak bisa membunuhmu, justru akan semakin membuatmu kuat dan kuat.

Kadang kita bersyukur, modal sosial kita masih bisa diandalkan untuk survive dari krisis ini. Bahkan dalam salah satu survei psikologi dunia menghadapi krisis ini, Bangsa Indonesia memiliki harapan positif paling tinggi di dunia. Salah satu penelitinya Guru Besar Psikologi UI, Prof. Hamdi Muluk.

Sebab kita memang bangsa yang liat. Bangsa yang tetap ceria meski hanya makan dengan sayur bayem sama rendang doang. Plus tiga batang rokok…

“Mas, kalau bisnis migas itu sektor formal apa informal?” tanya Abu Kumkum.

“Migasnya, apaan Kum?”

“Jualan minyak telon sama jamu tolak angin…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.