Agama Buddha di Tanah Karo

Oleh: Edi Sembiring

edi sembiring 2Umumnya orang di Sumatera menganggap agama Buddha miliknya etnis Tionghoa saja, dan tak akan menyangka orang Karo ada yang beragama Buddha. Bahkan kini banyak guru agama Buddha yang bermerga Sembiring, Sitepu, ataupun Ginting. Saat ini, kesan bahwa ajaran Buddha hanya dipelajari suku tertentu, ternyata tidak berlaku lagi.

Bhante Jinadhammo lah yang telah bersusah payah mendatangi, menaklukkan, serta menabur benih Dhamma di Tanah Karo. Tak banyak yang tahu, bahkan umat Buddhis di Sumatera Utara sekalipun, jasa Bhikkhu Jinadhammo dalam merintis masuknya Agama Buddha di Tanah Karo sangat besar.

Selain Tionghoa, Tamil dan Jawa, ternyata Agama Buddha banyak dipeluk oleh masyarakat Karo. Tercatat nama-nama tokoh Buddhis yang berasal dari Karo, diantaranya : Bhikkhu Kanthadhammo, Channa Surbakti, Ndriken Sitepu, Gancih Sitepu (alm), Densi Ginting, Nenteng Barus, dan banyak lagi.

Upaya ini telah mulai dirintis oleh Bhikkhu Jinadhammo sejak tahun 1984. Dan, saat ini, jumlah orang Karo yang memeluk Agama Buddha semakin meningkat. Bahkan budhismediantara mereka ada yang telah fasih dalam melafalkan Paritta dan menjadi Tokoh Agama Buddha.

Untuk inilah, Bhikkhu Jinadhammo juga merintis pembangunan vihara dan cetiya untuk Suku Karo, antara lain Cetiya Sakya Kirti (Parangguam Male), Vihara Kassapa (Desa Turangi), Vihara Sangha Ramsi (Sibiru-biru), Vihara Sriwijaya (Desa Parangguam Baru) dan Vihara Buddha Sikhi (Besadi).

Dimulai dari Desa Parangguam. Sebelum memeluk agama Buddha, orang Karo menganut kepercayaan Pemena dan berpegang teguh pada Adat. Atas inisiatif Dirjen Sitepu, Johan Sitepu dan Gandih Sitepu, mereka pun mencari Bhikkhu Jinadhammo di Vihara Borobudur Medan untuk memohon kepada beliau agar melakukan pembinaan secara Buddhis terhadap masyarakat Karo yang ada di Desa Parangguam.

Maka sejak tahun 1984 sebagian penduduk Parangguam sudah beragama Buddha dan langsung di Trisarana-kan dan dibina oleh Bhikkhu Jinadhammo.

Dalam rentang 9 kali kunjungan beliau ke sana, mereka sudah cukup memahami Buddha Dhamma yang diajarkan pada mereka, karena tidak terlalu jauh berbeda dengan kepercayaan lama mereka. Kendala yang ada bagi mereka adalah untuk membaca dan memahami paritta-paritta yang berbahasa Pali yang masih sangat asing bagi lidah dan telinga mereka.




Tapi hal tersebut dapat diatasi, karena di antara pemuda Karo yang telah mengecap pendidikan di Institut Ilmu Agama Buddha telah mulai menyadur paritta-paritta tersebut ke dalam bahasa Karo.

Pada tahun yang sama pula, atas rintisan dari Bhante Jinadhammo, Upa Giriputra dan Ibu Marianiwaty, dimulailah pembangunan Cetiya Sakya Kirti di atas setapak Tanah di Parangguam Male, disumbangkan oleh penduduk setempat.

Lalu berlanjut hingga kini pembangunan Cetiya Sakya Kirti yang terdapat di Kabupaten Karo, Vihara Kassapa yang terletak di Simpang Glugur, Desa Turangi, dan Vihara Sriwijaya yang terletak di desa Parangguam Baru, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.

Di Sibiru-biru juga ada vihara dan cetiya milik umat Buddha Suku Karo, yaitu Vihara Sangha Ramsi dan Cetiya Vanara Seta.

Bhikkhu Jinadhammo merupakan salah satu dari lima bhikkhu yang pertama kali ditahbiskan setelah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, di Candi Borobudur pada tahun 1970. Beliau juga termasuk sebagai bhikkhu dengan vassa tertua di Indonesia yang masih tetap lincah dan bersemangat dalam mengembangkan Buddha Dharma, khususnya di Indonesia. Ia dikagumi Umat Buddha bukan saja karena kesederhanaan hidupnya tetapi juga keteguhan prinsipnya.

budhisme 2
Vihara Sriwijaya. Foto: SALMEN KEMBAREN

Bhikkhu Jinadhammo dilahirkan di Desa Gempok. Kecamatan Simo (Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah), pada tanggal 3 September 1944, dengan nama kecil Sunardi. Saat remaja, Sunardi kerap mengunjungi tempat-tempat pertunjukkan wayang kulit. Ia betah menonton pagelaran wayang kulit berhari-hari dan hapal dengan lakon dan tokoh wayangnya. Agama Buddha mulai dikenal Sunardi saat ia bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan. Diam-diam ia penasaran dengan kemegahan candi tersebut.

Akhirnya Sunardi bertemu dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Bandung. Dari Bhikkhu Ashin, Sunardi giat mempelajari Paritta-paritta suci dan Buddha Dharma secara mendalam. Pada masa 1960 sampai 1970-an, Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita adalah putra Indonesia pertama yang menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit.

Setelah Sunardi ditahbiskan sebagai upasaka oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, ia kerap mendampingi Bhikkhu Ashin berkeliling Sumatera bahkan Indonesia.

Sunardi sering didesak oleh Bhikkhu Ashin untuk segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Sampai kurun 6 tahun lamanya. Suatu ketika, Bhikkhu Ashin berkata pada Sunardi :

“Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto? Mengapa Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu? Itu karena saya membayar hutang.”

budhisme 3Demikian pertanyaan yang dilontarkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau sendiri.

Ketiga tokoh yang disebut Bhikkhu Ashin adalah umat Buddhis. Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha.

Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Selang beberapa waktu kemudian, samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi Bhikkhu.

Tepat pada Hari Waisak, tanggal 9 Mei 1970, pukul 14.00 WIB, bertempat di Candi Borobudur, bersama dengan 4 orang Samanera lainnya, Samanera Dhammasushiyo di Upasampada. Samanera Dhammasushiyo berganti nama sebagai Bhikkhu Jinadhammo.

45 tahun telah menjadi Bhikkhu, karya Bhikkhu Jinadhammo Mahathera atau yang lebih akrab disapa Bhante “Jin” begitu terasa di Sumatera.

Bhikkhu Jinadhammo Mahathera mempunyai nasehat :

“Sedikit sekali manusia yang tahu berterimakasih. Jadilah orang yang selalu berterimakasih kepada setiap hal yang datang dan kepada semua orang yang pernah menjadi guru.”

“Umat Buddha banyak yang pandai liam keng dan menghafal sila di luar kepala, namun apakah sila-sila itu sudah dipraktikkan? Jangan sampai teorinya yang bagus tapi praktiknya tidak becus. Kalau Pañca Sila benar-benar dipraktikkan, orang dijamin masuk surga dan bisa menjadi orang suci.”




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.