Kolom Edi Sembiring: BUKAN HANTU DI JALAN BERLUBANG

“Yok, buat cantik kota Medan.” Ini contoh tagline kota Medan. “Yok, buat kian sejahtera petani Karo.” Ini bisa jadi contoh tagline di Kabupaten Karo. Simpel. Bukan malah sibuk menghitung luas areal pertanian atau membandingkan Food Estate dengan kemandirian petani Karo sejak dulu.

Tapi kalau ahistoris dan malas baca, tak ada juga gunanya tulisan panjang yang saya tuliskan kemarin.

Tahun 1960an, jalan-jalan di Kuta Gurusinga dan desa-desa lainnya yang merupakan sentra hortikultura di Dataran Tinggi Karo masih sama dengan tahun 1947. Tak ada perbaikan setelah belasan tahun berlalu.

Sebelum 1950, dari Gurusinga hasil ladang dibawa ke pasar di Berastagi dengan cara menjunjung di atas kepala (ijujung). Petani harus berangkat dari Desa Gurusinga berkisar pukul 04.00 Wib atau 05.00 Wib pagi.

Pedati (gereta lembu) dapat digunakan, tetapi sewanya mahal dan juga ada rasa takut karena kondisi jalan masih berlubang-lubang dengan kedalaman mencapai 0,5 m. Lubang ini disebabkan oleh bekas roda pedati lembu atau kerbau pada musim hujan. Pada saat itu, angkutan bus hanya tersedia pada musim kemarau.

Belum lagi masih banyak jalan-jalan belum terbangun. Masih jalan tanah dan bahkan masih berbentuk jalan tikus. Seperti dari Dusun Korpri (Dusun III) belum ditemukan sarana jalan (transportasi), hanya tersedia jalan tikus menuju Kota Kabanjahe.

Namun sayur mayurnya dari tahun 1950an hingga 1962 telah masuk ke Penang dan Singapura. Dan berlanjut pasca konfrontasi dengan Malaysia.

Kesabaran revolusioner petani-petani di desa-desa di daerah Liang Melas Datas juga bukti gigihnya para petani Karo. Walau puluhan tahun jalan-jalan rusak dan hancur, mereka tetap gigih mengusahakan lahan pertaniannya. Sayur dan buah jeruk terbaik berasal dari sana.

Tahun 1972 ada “Badan Penjelamat Petani Sajur Majur.” Ketuanya adalah Dalan Nggit Sembiring. Beliau petani dan juga pejuang kemerdekaan. Beliau yang dulu memberhentikan kendaraan KTN di Tugu Veteran saat ini.

Begitu pentingnya para petani, sehingga bantuan dana turun untuk membeli sayur yang berlebih-lebihan di pasar. Uang tersebut digunakan untuk menyelamatkan kool “kwalitet ekspor.” Walau itu pun tak berjalan terlalu mulus, namun bertujuan menyelamatkan petani-petani.

Sebelum datang masa konfrontasi dengan Malaysia (1962-1966), sayur-sayur bermutu dari dataran tinggi Karo termasuk kool Siantek yang terkenal itu berjaya di Malaysia dan Singapura. Di masa konfrontasi, sebagai gantinya masuklah sayur-sayuran dari Taiwan, Hongkong dan RRT ke Malaysia dan Singapura.

Namun, Malaysia dan Singapura tidak mungkin menggantungkan diri pada negara-negara jauh yang berpanen sayur hanya 1 kali setahun (berhubung adanya musim dingin). Maka Malaysia membuka perkebunan sayur di Cameroon Highland.

Hasilnya di luar dugaan. Walau belum sanggup memenuhi semua kebutuhan dalam negeri, tapi sesudah konfrontasi berakhir, kool Cameroon tampil sebagai saingan tangguh bagi kool Siantek.

Keadaan selanjutnya menjadi membingungkan. Petani-petani Karo saat masa konfrontasi telah mengganti kool Siantek dengan kool Amerika. Mungkin karena jenis ini pula yang laku di pasaran lokal. Kool jenis baru ini bisa mencapai berat 7 kg per buah.

Namun apa mau dikata, orang Malaysia dan Singapura tidak berkenan. Kool Amerika itu tidak manis seperti kool Siantek yang meski hanya 2 kg per buah tapi sangat digemari. Para petanipun harus berbenah.

Begitu sabarnya petani menghadapi permintaan pasar dan harga yang tak menentu. Begitu sabarnya petani menghadapi infrastruktur baik itu jalan maupun irigasi yang tak mendukung.

Saat ini, para politikus yang ingin perubahan merasa tak sabar. Sementara calon Bupati/ Wakil Bupati dari incumbent dan para pendukungnya tak rela bila tak berkuasa kembali.

Hal yang menggelitik, apakah Cabup/ Cawabup incumbent menyadari bahwa selama ini kaum petani pasti punya jalan keluar masing-masing tanpa bergantung penuh pada pemerintah daerah? Atau kalimat lainnya, tanpa pemerintah daerah pun, petani Karo bisa.

Atau bisakah kita katakan petani tak terlalu butuh pada janji-janji politik politikus? Bila sudah sampai di tahap ini, siapapun yang menjadi pemenang Pilbup, tak berarti banyak bagi petani. Toh, selama ini “mereka hidup tanpa pemerintah.”

Mengajari para petani Karo bercocok tanam itu seperti mengajari ikan berenang (walau memang masih ada kekurangan sedikit pada pasca panen). Yang mereka khawatir hanya “hantu” di pasar, bagaimana harga-harga begitu cepat berubah. Bukan hantu di jalan-jalan berlubang.

Sumber bacaan :

Kajian Antropologi Mengenai Periode Perkembangan Budidaya Hortikultura di Berastagi Kab. Karo oleh Sri Alem br. Sembiring (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara).

Majalah Tempo 12 Februari 1972.

Foto head cover: ERJUJUNG Erjujung dalam bahasa Karo adalah suatu cara membawa barang di atas kepala. Erjujung umumnya dilakukan oleh perempuan. Seperti nenek ini, ia membawa barang di atas kepala tanpa memegangnya, sembari menyeberang sungai. Para perempuan Karo di desa umumnya sudah terlatih erjujung. Sumber: Picuki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.