Kolom Boen Syafi’i: BUKTI SEMAKIN RELIJIYES SEMAKIN PRIMITIF PULA

Lagi-lagi pasal karet penistaan agama memakan korban. Masih hangat kasus pegiat toleransi Lalu Agus Wirawan, dan kini sudah diputus 2 tahun penjara. Sebelumnya ada kasus Ibu Meliana, yang cuma mengeluh ke tetangganya tentang volume speaker adzan. Lalu kasus Ahok, dan kini 4 petugas nakes RSUD Pematang Siantar, pun dilabeli pula sebagai penista agama.

Gara-garanya cuma sepele, bukan semaradona.

Yakni, 4 petugas nakes laki-laki memandikan jenazah pasien Covid 19 bergender perempuan. Celakanya, suami dari si jenazah tidak terima karena yang memandikan itu BUKAN MUHRIM, sebab bergender laki laki.

Ingat, fokus kasus ini ada pada kalimat BUKAN MUHRIM. Lalu gerombolan apa yang seringkali menyitir kalimat BUKAN MUHRIM? Ya benar, mereka adalah gerombolan mabuk dogma gurun, yang sok suci padahal hobinya menyakiti hati perempuan, dengan praktek poligami.

BUKAN MUHRIM? Jadi apakah jika para Ibu ingin memeriksakan kandungannya kepada dokter kandungan yang bergender laki-laki itu namanya penistaan agama? Apakah renang bareng antara laki-laki dan perempuan di tempat kolam pemandian umum, itu namanya BUKAN MUHRIM dan pantas diganjar label penista agama?

Apakah penumpang laki-laki dan perempuan yang ada di angkutan umum dan duduk bersebelahan itu harus dihukum penjara, sebab mereka BUKAN MUHRIM?

So, penjara bakal penuh di negeri ini, jika kalimat BUKAN MUHRIM didefinisikan sebagai penista agama.Padahal nakes RSUD Pematang Siantar memang sangat terbatas jumlahnya. Sialnya, para nakes ini bergender laki-laki semua. Tidak ada yang perempuan untuk mengurusi jenazahnya pasien Covid 19.

Dan lagi, sebenarnya pihak RSUD Pematang Siantar juga mempersilahkan suami (pelapor) si jenazah mencari orang yang bergender perempuan untuk memandikan. Tetapi si pelapor tidak juga segera membawakan orang yang dijanjikan. Akhirnya jenazah Covid 19 yang SOP nya harus segera dikebumikan, diurus oleh nakes RSUD itu sendiri.

Ah, mau bagaimana lagi? Dogma gurun yang seringkali sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia, ternyata masih saja dipaksakan oleh sebagian warganya. Sudah banyak contohnya, terutama saat musim Pilkada tiba. Pasti ayat yang melarang memilih pemimpin selain dari yang seimin, bakal beredar ke mana-mana.

Memilih pemimpin harus yang seimin? Jadi, apa gunanya UUD yang mengatur persamaan hak dan kewajiban, setiap warga negara?

Ya, semakin relijiyes maka manusia tersebut akan semakin primitif pula. Akhirnya yang ada hanyalah statemen: “Perempuan bisa hamil saat berenang campur dengan laki laki.”

Ah, pantesan ikan lele di selokan samping rumah sekarang jadi tambah banyak jumlahnya. Wong tiap kali saya “pakai sabun” pasti mengalirnya ke situ. Ya ampun, jebule sebagian dari lele-lele itu adalah anak saya. Terkutuk!

Salam Jemblem..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.