Cahaya Pancasila di Wajah Jokowi

Pancasila sudah lama ada. Sudah ribuan tahun. Sudah dipraktekkan. Sudah dihidupi. Dalam keseharian nenek moyang kita. Dalam sejarah Kerajaan Nusantara. Dalam setiap jiwa para pahlawan. Dalam setiap sanubari rakyat. Ia telah lama hadir. Berurat-berakar. Kuat, sekuat-kuatnya.

Pancasila ribuan tahun samar-samar. Diamalkan. Dikenal dan diyakini.




Semangatnya ada. Nilainya ada. Cahaya mutiaranya ada. Efeknya ada. Orang-orang mencarinya. Dan ada. Adanya dia dirasakan. Spiritnya menggetarkan kalbu. Merasuki jiwa. Mengobarkan semangat. Menumbuhkan nasionalisme. Menumbuhkan persatuan.

Menjelang merdeka, roh Pancasila semakin menyala. Semakin mengkilap. Semakin bergemuruh. Lalu, Soekarno mati-matian menggalinya. Menguaknya. Memunculkannya. Muhammad Yamin juga. BPUPKI juga. Lalu mereka berhasil menguak misterinya. Mereka kemudian mengonsepnya. Merumuskannya. Juni 1945, Pancasila berhasil dikonsep. Berhasil dirumuskan. Berhasil disetujui.

Soekarno hanyalah penggali Pancasila. Bukan pencipta. Ia penemunya. Dan 1 Juni secara adanya, bukanlah hari lahirnya. 1 juni adalah hari penemuan Pancasila. Hari perumusan Pancasila. Hari persetujuan atas terkonsepnya Pancasila. Lalu dititahkan dalam Piagam Jakarta. Di sana ia memberontak karena diembeli kata ‘syariat’. Lalu semua setuju menjernihkannya. Demi mengakui perbedaan, Pancasila dimurnikan dalam Piagam Jakarta.

Ketika 17 Agustus, Pancasila sudah sedemikian tegak. Ia menopang kuat Proklamasi. Di Pembukaan UUD 1945, ia disahkan sebagai dasar negara. Di sana ia ditinggikan, diotentikkan. Diideologikan. Ia difalsafahkan. Kemudian ia dijiwai, ditumbuhkan dan dibela dengan jiwa dan darah.

Ketika Pancasila dirongrong oleh PKI 1948, ia tetap sakti. Pun oleh DI/TII, NII dan seterusnya. Pancasila tetap sakti. Demikian juga saat G 30S/ PKI tahun 1965. Ia tetap sakti mandraguna. Ketika HTI menggantinya, ia juga tetap sakti. Mengapa ia sakti? Karena Pancasila bukan benda yang ditempel yang mudah dibuka. Ia bukan benda yang ditanam yang mudah dicabut. Ia bukan imajinasi yang mudah kabur. Ia bukan teori yang mudah menguap. Bukan.

Pancasila itu sudah ada di setiap hati. Di setiap kalbu. Kelima silanya sudah dihidupi. Sudah menjadi bagian hidup. Jika ia diganti, sama saja mengganti jiwa. Jiwa Pancasila ada di setiap nyawa rakyat ini. Ada di setiap dada. Ia merekat suku, bahasa, budaya, agama di republik ini.




Jika melihat Pancasila, lihatlah di wajah Gusdur. Di wajah Habibie. Di wajah Megawati. Di wajah ulama NU, Muhammadyah. Di wajah Mangunwijaya. Di wajah Ahmad Shafii Maarif. Di wajah para pembela NKRI. Di wajah Ahok yang di penjara.

Pancasila ada di wajah pemimpin yang tulus. Di wajah pemimpin yang sederhana. Di wajah pemimpin yang merakyat. Di wajah pemimimpin pemberani. Di wajah pemimpin yang bekerja. Di wajah pemimpin yang visioner. Dan ia bermetafora di wajah Jokowi.

Pancasila di wajah Jokowi bercahaya. Berkilau. Bermatefora. Meraung-raung. Ia ikut bergerak dalam diri Jokowi. Di mana ada Jokowi bergerak, mobile, di situ Pancasila berkilau. Pancasila dihadirkan saat Jokowi blusukan. Saat dia bertemu rakyatnya. Saat dia ke daerah. Saat dia ke luar negeri. Saat dia bertemu dengan Donald Trump, Putin atau Xi Jin Ping.

Kelima sila Pancasila tergambar di wajah Jokowi. Di penampilan sederhananya. Di iman ketuhanannya. Di keislamannya. Di kemanusiaannya. Di prinsip persatuannya. Di gaya merakyatnya. Di visi keadilan sosialnya. Di etos kerja kerasnya. Di hati tulusnya. Di visi nun jauhnya. Di gaya demokrasinya. Di kalbu pemberaninya. Di taktik politiknya. Di strategi pemerintahannya. Di sana Pancasila bernaung. Meraung. Mengaum. Bergelora.




Pancasil akan berkilau. Bercahaya. Abadi. Sakti. Di hati siapa saja yang mencintai kebenaran. Bagi yang percaya akan ke-Tuhan-an yang maha Esa. Bagi yang bersaudara atas dasar kemanusiaan. Bagi yang mencintai perbedaan. Bagi yang mencintai keragaman. Bagi yang mencintai kesederhanaan. Bagi yang mempertahankan persatuan. Bagi yang jiwanya merakyat. Bagi yang memanusiakan manusia. Bagi yang berkedilan sosial. Bagi para pembela NKRI. Pancasila ada.

Di saat kita terancam radikalisme. Terancam terorisme. Terancam roh pemecah. Kita hadirkan Pancasila. Kita rekat diri dalam Pancasila. Kita satukan jiwa dalam Pancasila. Di saat kita damai, kita pupuk Pancasila. Kita siram. Kita tumbuhkan. Kita jiwai semangatnya. Kita suarakan dalam kebenarannya. Kita gaungkan nilainya dalam segala aspek kehidupan.

Anda yang mencintai bangsa ini, jadilah seorang yang Pancasilais. Jadilah seorang Gus Dur. Jadilah seorang Jokowi.

HEADER: Mihaela Noroc (Tribune Style)







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.