Cerbung: Suamiku Patric Jadi Patricia (3)

Bagian 3 dari 5 Bagian

Getirnya Cinta Pertama

Oleh: Sria van Munster

Sesungguhnya, aku butuh istirahat malam itu. Aku sungguh lelah karena hari ini Patric mengajakku jalan menelusuri Pulau Samosir, dan besok perjalanan Parapat – Medan akan memakan waktu. Apalagi Patric ingin mengambil jalur lintas Kabupaten Karo yang menurutnya lebih indah dan ingin singgah di Penatapen Simarjarunjung dan Air Terjun Si Piso-piso, nyantap jagung bakar, atau jagung rebus di Berastagi. Juga, sudah pasti menikmati indahnya matahari terbenam dari puncak Bukit Gundaling.

Gelisah, resah, bingung sedih dan takut pada hatiku sendiri , bercampur menjadi satu hingga aku benar-benar sulit memejamkan mata. Pernyataan kasih sayang Patric dan getirnya hati karena cinta pertama membuatku tak tahu berbuat apa. Malam yang semakin larut, membawaku semakin larut juga pada cerita masa laluku.

“Aku akan membuktikan bahwa aku tidak seperti impalmu itu,” ucap Patric senja itu.

Entah dari siapa dia mendengar tentang cerita cintaku ini. Ada rasa marah karena orang lain telah bercerita di belakangku, tetapi aku teringat adikku Riah. Aku dapat pastikan bahwa adikku inilah yang telah berceloteh ria sesuai dengan namanya kepada Patric.




Tujuh tahun sebelumnya, aku baru memasuki masa remajaku, aku akan memasuki kelas 1 SMA ketika impalku Joreta Tarigan akan melanjutkan pendidikannya ke pulau seberang, tepatnya Universitas Pertanian Bogor. Otaknya yang memang cemerlang membuat dia dengan mudah diterima menjalani pendidikan di sana. Insinyur Pertanian adalah cita-citanya sejak kecil.

Sejak dia menduduki kelas 3 SMA, dan aku tumbuh menjadi seorang remaja, dia semakin sering berkunjung. Layaknya remaja yang sedang jatuh cinta dia selalu hadir di Malam Minggu. Aku akan menyambutnya dengan malu-malu kucing.

Aku tidak tahu pasti apakah aku saat itu benar-benar jatuh cinta karena sesungguhnya kami bertumbuh secara bersama. Aku telah mengenalnya sejak awal hidupku. Namun, naluri kewanitaanku berbisik lain. Aku mulai takut akan kehilangan Bang Jore, demikian kami memanggilnya. Terutama dengan mengingat bahwa dia akan ke pulau seberang. Jelas dia akan bertemu dengan banyak wanita lain. Aku tak berani membayangkannya.

Kam tidak sedih kalau Bang Jore akan pergi jauh, dek?” tanya Bang Jore sore itu ketika kami duduk bersama menikamati es kelapa muda di Taman Sri Deli di hari Minggu sore. Hari Minggu sore terakhir kami berdua sebelum dia berangkat.

“Sedih, ya sedih jugalah, Bang, kan nggak ada lagi orang yang mau aku candai, kuledek dan sebaliknya,” jawabku sambil menatap wajahnya dan berusaha tersenyum semanis mungkin, dan hatiku tiba-tiba haru sekali, tangisku hampir meledak.

“Itu saja, dek? “ tanya Bang Jore selanjutnya.

Aku diam dan menundukkan kepalaku karena tak tahu harus bagaimana menjawabnya. Apa yang kuraskan saat itu membuatku kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.

Tiba-tiba Bang Jore memegang kedua tanganku, dan meletakkannya di dadanya sambil berkata.

Timaindu kel pagi kemulihenku, ya impalku, ula kel pagi rudang si kusuan kalak si mutikkenca adi enggo terlak,” katanya dalam bahasa suku kami, Karo (Terjemahan: Tunggu aku kembali. Janganlah bunga yang telah aku tanam dipetik orang lain saat sedang mekar).

Tanpa kusadari, hanya airmataku yang mampu memberinya jawaban.

“Sudah, dek, airmatamu sudah cukup bagiku jawabannya,” ucap Bang Jore sambil mengusap air mata di pipiku.

Dia mencuim keningku dengan lembut beberapa kali tanpa perduli orang-orang sekitar.

Sejak kepergian Bang Joreta, beberapa minggu aku merasa sepi dan kehilangan. Tetapi, aku berusaha bersikap senormal mungkin dan fokus dengan sekolahku yang baru, situasi yang baru dan juga teman – teman baru. Pada awalnya Bang Jore dengan rajin setia mengirim surat berisi kegiatannya, semua hal baru yang dia alami dan tentunya ungkapan rasa cinta.

Puluhaan surat cinta telah digoreskan berlembar-lembar. Tetapi pada tahun yang ke tiga Bang Jore mengurangi frekuensi suratnya dengan alasan terlalu sibuk dengan studi dan sering-sering praktek lapangan. Akhirnya, balasan surat terakhir dariku tak pernah lagi ada. Walau demikian aku tetap berusaha setia. Sejumlah teman laki-laki yang berusaha mendekat aku tolak dengan halus. Aku sempat dicap wanita es – lesbian karena penolakanku dan sikapku yang dingin, tetapi aku tak perduli dan setia menanti Bang Jore kembali. Aku tidak inginkan kembang yang dia tanam dipetik orang lain.

Hingga pada akhir tahun yang ke lima, orangtua Bang Jore datang menghadap kalimbubu (mohon doa restu) ke Bapa dan Nande karena studi Bang Jore telah selesai dan selanjutnya akan kembali ke Medan bersama calon istrinya. Akan diadakan pesta Pernikahan Peradatan Karo. Betapa hancur hatiku. Duniaku terasa terbalik mendengarnya. Pahit dan getir rasanya hatiku. Hancur rasanya hidupku. Berhari-hari aku terisak-isak.

“Selamat, ya Bang Jore. Semoga kau bahagia. Terimakasih karena engkau telah pernah hadir mengiasi hidupku,” ucapku sambil menebar senyum yang dipaksakan.

“Terimakasih, dekk, semoga engkau juga kelak bahagia,” jawabnya seenaknya.




Sejak saat itu, aku benar-benar kehilangan semangat. Jangankan menerima laki-laki lain di hatiku, bergaul dengan mereka juga aku sudah muak. Kalau dulu aku menolak dengan halus, kini aku menolak dengan mencak-mencak. Studi juga hampir gagal.

                                                   ********

“Buk, malam sudah larut sekali, sebaiknya ibu ke dalam, saya yakin ibu lelah sekali,” ucap security hotel tiba-tiba.

Sepertinya dia memperhatikanku dari tadi. Tanpa jawaban aku berdiri dan melangkah menuju kamarku, dan mencoba memejamkan mata.

(Bersambung)

Note : impal adalah saudara sepupu silang. Contohnya dalam cerita ini adalah ayahku bersaudara dengan ibu Joreta, dalam silang ini kami bisa menikah karena saya putri paman Joreta. Tetapi jika saya laki-laki maka kami tidak diizinkan menikah. Jika saya laki-laki maka yang boleh saya nikahi adalah putri pamanku, putri saudara laki-laki ibuku.

Bagian pertama  : Kenalan Pertama di Gramedia Gajah Mada

Bagian ke dua     : Ciuman Pertama di Pinggir Danau Toba

Foto header: Setya Winnie






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.