Kolom Eko Kuntadhi: CONGOR vs RASIONALITAS

Setiap ada perubahan drastis, kita kaget. Lalu pelan-pelan menyesuaikan diri. Dan akhirnya terbiasa. Hari ini Jakarta mirip kota mati. Jalanan kosong. Orang malas ke luar rumah. Dan Medsos lebih ramai dari biasanya. Kita kaget, penambahan pasien positif terus merangkak. Kita kaget berita duka berseliweran setiap hari. Kita kaget dihantam badai virus yang menggila. Kaget adalah reaksi standar.

Ucapkanlah, “bangun-bangun makan nasi pakai garam…” Lalu, kagetmu akan hilang. Dan perutmu kenyang. Dan bibirmu asin.

Hari-hari ini kita hidup tidak seperti biasanya. Perjalanan dibatasi. Mall tutup. Kantor istirahat. Dan hidup seperti di-pause. Berhenti sebentar untuk ngaso. Akal sehat kita memaksa kita ikuti aturan. Pakai masker. Patuhi protokol kesehatan.

Kita gak mau sok, menantang Tuhan. Menantang virus yang meskipun mungil hanya seukuran sekian milimikron, tapi bisa meluluhlantakan kehidupan.

Pada hari-hari seperti ini, kita memang panik. Sejuta informasi masuk ke telinga. Sejuta berita mampir di kepala. Sebagian benar. Sebagian besar, mungkin saja hoax.

Yang paling membuat sebaliknya adalah para pemuka agama yang justru menjadikan wabah ini untuk berkoar-koar. Ketika masjid dan mushola harus tutup sementara, mereka seperti Jubir tuhan yang mengardik-hardik.

“Bangsa ini bisa dimarahi Tuhan,” ujar Wakil Ketua MUI Anwar Abbas.

Sebab baginya penutupan masjid, meski sementara bisa membuat Tuhan gusar. Saya gak ngerti Tuhan seperti apa yang pemberang begitu. Kenapa dia marah sama banga Indonesia yang sedang berikhtiar menyelamatkan kehidupan? Apakah Tuhan begitu cupet dan hanya mau disembah di masjid?

Somad lain lagi komentarnya. “Menutup masjid, malu sama Allah!.” Ah, orang-orang ini. Yang disekolahkan sama orangtuanya. Kenapa selalu saja menantang akal sehat?

Virus ini adalah soal kesehatan. Ranahnya sains. Ranah ilmu pengetahuan. Penanganannya mesti juga dengan menggunakan dasar sains dan pengetahuan. Virus bukan ranah agama.

Para pengasong agama ini gak perlulah membentur-benturkan ibadah dengan ikhtiar penutupan untuk melindungi rakyat. Gak usahlah merasa masjid bebas virus. Sudah banyak beredar kabar tentang cluster rumah ibadah. Gak usah dikompor-kompori lagi.

Ajarkan rakyat berfikir adil. Kalau mau ibadah agama dengar penceramah agama. Tapi kalau soal kesehatan dengerin dokter. Jangan dengerin Somad atau Anwar Abbas. Mereka gak punya ilmunya.

Sama seperti kalau mau betulin mobil, dengerin kata montir. Mobil Anda gak akan beres mesinnya dengan dibacakan ayat kursi. Berfikirlah dengan adil. Menempatkan pada tempatnya. Khususnya bagi para pengasong agama, ajarilah umat menggunakan akalnya. Bukan memuluskan emosinya.

Kalu akal mereka somplak, jangan ditularkan kepada jemaahnya. Nanti isi kepalanya jadi gompal semua dong. Di hari-hari ini, alam sedang menguji kita. Rasionalitas kita sedang dipertaruhkan.

Apalagi menghadapi ocehan pengasong agama yang saat naik mimbar, isi kepalanya ketinggalan di ember. Hanya ada dua cara: Bertindak rasional dan pertahankan kebahagiaan.

Jika kamu mulai merasa gak bahagia. Jangan sesekali membaca berita soal Somad. Perasaanmu akan makin hancur berkeping-keping. Ayo, cari kebahagiaanmu. Selami jiwamu. Lepaskan keterhimpitan masalah.

Lihatlah ke luar jendela. Burung gereja tetap berceloteh riang. Memungut makanan yang dihamparkan Allah di muka bumi. Lihatlah keluar. Perhatikan kelompok bunga itu. Bukankah dia sedang tersenyum padamu?

Lihatlah ke langit. Cahaya matahari berlimpah menyapamu. Putar lagu dari HP-mu. Dengar suara-suara indah itu.

“Wuuaa, keindahan yang selama ini terlewat ternyata berserakan di sekitar kita. Hanya saja kita selalu luput mencernanya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.