Kolom Eko Kuntadhi: BIRGALDO, DENNY SIREGAR DAN BATAK-BATAK LAINNYA — Rahasia Yang Tidak Banyak Orang Tahu

Sebuah pesan masuk ke inbox. “Mas, Bang Birgaldo menulis yang banyak nyebut nama sampeyan. Ada tanggapan?”

Begini, saya mulai bercerita. Ketika Megawati bertemu Prabowo, waktu itu saya lagi makan nasi bebek di sekitar kalibata. Entah kenapa, saya lebih memilih minum dengan es teh tawar. Gak pake gula. Sebab bagi saya, gula mengundang semut. Dan saya gak suka jika dikerubutin semut.

Begitu pula ketika Surya Paloh bertemu Anies Baswedan.

Waktu itu saya lagi di atas kereta. Dari arah Pasar Minggu menuju kota. Saya memilih gerbong paling depan agar lebih dulu sampai ke tempat tujuan. Tapi sial. Gerbong paling depan rupanya khusus buat perempuan. Terpaksa saya mengalah. Memilih gerbong ke dua. Tapi, posisi saya berdiri tepat di ujung gerbong paling depan.

Ya, biar sampai duluan, dong. Emangnya saya bodoh, apa?

Lalu saya turun di Stasiun Cikini. Dari sana saya meneruskan dengan berjalan kaki ke Stasiun Gondangdia. Kenapa saya gak turun di Stasiun Manggarai saja, kok malah memilih Stasiun Cikini? Gaklah. Kamu kira saya bodoh? Jarak Manggarai-Gondangdia itu jauh banget. Gak bisa dicapai dengan jalan kaki.

Pasti kamu mengira tujuan saya ke Gondangdia karena di sana ada kantor Nasdem. Bukan. Bukan itu alasannya. Tujuan saya ke Gondangdia adalah menyambangi warung soto. Letaknya dekat stasiun.

Di sinilah titik persoalan yang ingin saya ceritakan kepada Anda semua. Ingat. Ini kisah rahasia. Saya tidak pernah menceritakan kepada siapapun. Sebab memang rahasia. Baru kali ini saya buka ke publik.

Pemilik warung soto di Gondangdia itu namanya Enceng. Enceng lulusan universitas ternama di Indonesia. Tapi ia gak mau jadi karyawan karena gajinya cuma Rp 8 juta sebulan. Lebih baik ia membuka warung soto. Pendapatannya lumayan.

Kuliahnya di jurusan teknik industri membantu ia merancang bentuk kompor yang cocok untuk memasak soto. Dengan kompor ramcangannya, soto dimasak dengan panas yang konstan sekitar 76 derajat Celcius. Apinya biru berbentuk dua garis. Seperti test pack bertanda positif.

Panas yang konstan berdampak pada santan yang tidak mudah rusak. Enceng gak mau santan untuk sotonya diambil dari santan kemasan. Baginya memasak soto tanpa meremas santan sama seperti bercinta tanpa meremas. Tidak ada sensasinya sama sekali. Enceng adalah seorang peremas santan kelas wahid.

Ia juga memastikan santan untuk sotonya harus dari kelapa asli asal Pandeglang. Bukan daerah lain. Menurut Enceng, Pandeglang adalah daerah penghasil kelapa yang patut diapresiasi. “Santan dari kelapa daerah lain, putihnya kurang pekat,” begitu alasannya.

Saya sendiri gak bisa bedain putih santan kelapa Pandeglang dan Kelapa Padalarang. Kelihatannya sama saja. Tapi Enceng adalah chef soto kelas wahid. Sekelebat saja dia bisa membedakan mana santan dari kelapa Pandeglang dan mana santan kelapa asal Ciamis. Di matanya berbeda jauh.

Itulah apabila orang sudah samoai pada level makrifat. Ia bisa membedakan sampai ke inti kelapa. Gak kayak kita. Untuk mata awam semuanya tampak sama saja.

Sama kayak orang awam, memandang Birgaldo dan Denny Siregar. Orang awam akan melihat keduanya sama saja; sama-sama Batak. Tapi bagi orang yang sudah kenal, keduanya berbeda.

Denny itu Batak tapi Siregar. Sedangkan Birgaldo, Batak juga, tapi lebih ke Sinaga. Berbeda, bukan?

Meskipun kita juga mengenal Batak lain bermarga Hedisetya. Nama depannya Permadi. Kalau saya, cukup Kuntadhi saja. Sedangkan Niluh, lebih cocok pakai Djelantik. Jadi kalau ditelusuri semuanya bisa dikatakan Batak juga. Marganya saja yang beda-beda.

Nah, yang diceritakan Birgaldo di tulisannya itu sebetulnya adalah Kyai Enha. Birgaldo mungkin heran, kok ada kyai yang bukan orang Batak?

Hahahahaha, saya tertawa mendengar kesimpulan Birgaldo. Kyai Enha itu sebetulnya Batak juga. Marganya Huda. Nama lengkapnya Nurul Huda.

Oke, kita kembali ke Enceng di Gondangdia. Rupanya tukang soto ini Batak juga. Marganya Sutisna. Makanya dia lebih dikenal dengan nama Enceng Sutisna.

Bagaimana dengan Anies, apakah dia Batak juga? Marganya Baswedan.

Oh, bukan. Baswedan bukan nama marga Batak.

Jadi itulah titik pangkal tulisan Birgaldo. Juga asal usul Denny Siregar. Dan saya berusaha menjawabnya dengan objektif. Saya sampaikan rahasia yang tidak banyak orang yang tahu.

“Mas, Anda yakin kisah rahasia ini mau dipaparkan ke publik?” Abu Kumkum mengingatkan.

“Saya harus bicara, Kum. Biarlah alam yang menilai, yang penting saya sudah sampaikan kebenaran.”

“Iya, mas. Sampaikanlah walau satu ayat. Selamat malam. Salam penuh cinta. Merdeka atau tidak!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.