Kolom Edi Sembiring: DARI JEMBATAN AMPERA — Petani Karo Hilir Ingatkan Pemimpin Tentang Amanat Penderitaan Rakyat

Pagi tadi [Senin 27/7], dari atas Jembatan Ampera, para petani Karo Hilir yang telah berjalan kaki lebih dari 1.100 Km kembali mengingatkan para pemimpin akan ucapan Sukarno: “Sudahkah engkau semua benar-benar mengerti dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera)?”

Aksi jalan kaki perwakilan petani yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) dari Medan menuju Istana Negara (Jakarta) terus dilakukan hingga hari ini [Senin 27/7].

Para petani jalan kaki dari Medan menuju Jakarta dengan tujuan ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk menuntut keadilan. 170 petani SPSB dan STMB berjalan kaki dari Medan sejak tanggal 25 Juni 2020. Sudah 32 hari menggelar aksi dan telah tiba di Kota Palembang (Sumatera Selatan) [Sabtu 25/7: Malam].

Mereka disambut oleh PWNU, Walhi, KPA dan STN dan para pemerhati agraria yang ada di Palembang.

Dewan Pembina Serikat Petani Simalingkar dan Mencirim Bersatu (Aris Wiyono) menyampaikan informasi via WhatsApp (WA) kepada Sorasirulo.com bahwa, hingga hari ini, pemerintah daerah Sumatera Utara terkesan diam dan tutup mata pada persoalan yang para petani sedang hadapi.

“Atau memang pemerintah daerah sudah tidak berdaya atau tidak mampu, atau memang mereka sedang bingung karena memang semua sudah terlibat konspirasi jahat dengan korporasi yang bernama PTPN II?” kata Aris.

“Yang jelas sampai hari ini Pemkab Deli Serdang dan Pemprov Sumut diam dan tak berdaya melihat nasib petaninya yang tergusur paksa oleh pihak PTPN II Tanjung Merawa,” tambah Aris.

Konflik bermula pada tahun 2017. Para petani yang telah menempati dan mengelola lahan/ tanah sejak tahun 1951 dikejutkan dengan pemasangan plang oleh pihak PTPN II yang tertulis Nomor Sertifikat Hak Guna Usaha No. 171/2009 di Desa Simalingkar A.

Selanjutnya, pihak PTPN II dikawal oleh ribuan aparat TNI dan Polri menggusur lahan-lahan pertanian masyarakat dan menghancurkan seluruh tanaman yang ada di dalamnya.

Tentu kejadian tersebut memicu perlawanan dari masyarakat Desa Simalingkar A, Desa Durin Tonggal, dan Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Akibatnya bentrokan pun tidak terelakan lagi antara masyarakat dengan aparat keamanan.

Puluhan petani terluka dan puluhan petani lainnya ditahan di Polsek, hingga ke Polres. Sampai saat ini, sebanyak 3 petani yakni Ardi Surbakti, Beni Karo-karo, dan Japetta Purba masih menjalani proses hukum. Mereka ditangkap tanpa diberikan surat panggilan, tidak diperlihatkan surat perintah penangkapan terlebih dahulu.

Dan selama bertahun-tahun, para petani di Desa Simalingkar A dan Sei Mencirim telah berupaya untuk mengadukan nasib kepada Bupati Deli Serdang, DPRD Kabupaten Deli Serdang, Badan Pertanahan Negara (BPN) Deli Serdang hingga DPRD Sumut dan Gubernur Sumut. Namun hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan dan penyelesaian yang jelas.

“Tegas kami nyatakan bahwasannya Mentri Agraria dan Tata Ruang/ BPN telah gagal dalam menangani konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya. Ini adalah wujud nyata kebobrokan pihak Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ BPN di era pemerintahan saat ini. Satu kata yang tepat untuk Sofyan Djalil adalah : mundur dari kabinet atau direshuffle dari kabinet Presiden Joko Widodo,” tegas Aris.

Karena terhitung sudah dua kali presiden mengadakan Rapat Terbatas (Ratas) khusus membahas kasus pertanahan Sumatera Utara. Namun hingga saat ini belum juga diselesaikan oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ BPN.

“Carut marut konflik agraria di Sumatera Utara antara petani dan PTPN II adalah buah ketidakberpihakan Sofyan Djalil terhadap petani kecil,” kata Aris.

Setelah beristirahat 2 malam di Kantor PWNU Kota Palembang, pagi ini [Senin 27/7], para petani kembali melanjutkan perjalanannya. Para petani dilepas oleh para pengurus PWNU Palembang diiringi doa agar selamat-selamat di jalan dan keadilan dapat diperoleh untuk keberlangsungan hidup para petani dan masa depan anak dan cucunya.

Pagi ini, dari atas jembatan Ampera, para petani yang telah berjalan kaki lebih dari 1.100 Km kembali mengingatkan para pemimpin akan ucapan Sukarno tanggal 17 Agustus 1963 pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia:

“Saya bertanya, sudahkah engkau semua, hai saudara-saudara! Engkau … engkau … engkau … engkau, sudahkah engkau semua benar-benar mengerti dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), benar-benar menyadari dirimu sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar menginsyafi dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar merasakan dirimu, sampai ke tulang-tulang sungsummu, sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat? Amanat Penderitaan Rakyat, yang menjadi tujuan perjuangan kita.”

#SelesaikanKonflikAgraria
#petanisimalingkar
#petanimencirim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.