Kolom Boen Syafi’i: DESEMBER BULANNYA RIYANTO

Hari itu di tanggal 24 Desember 2000, seorang pemuda berpamitan kepada orangtuanya untuk sebuah tugas yang sangat mulia. Dengan uniform kebanggaan, berangkatlah si pemuda itu dengan penuh keyakinan dan kebanggaan di jiwanya. Dan, sore pun menjelang, disertai dinginnya angin serta rintik-rintik hujan. Namun tekad si pemuda sedikitpun tidak bisa diurungkan.

Mungkin di dalam batin dirinya berkata: “Kyai panutan saya sudah menyuruh saya.”

“Maka apapun yang terjadi, pantang surut untuk melangkahkan kaki. Toh yang saya jaga bukanlah Gerejanya, namun lebih luas lagi, yakni Indonesia.”

Ya, nama pemuda gagah dan berani itu adalah Riyanto, anggota Banser asal Mojokerto (Jawa Timur), keturunan kesatria Majapahit.

Malam itu, Gereja Eben Haezer yang berlokasi di Kota Mojokerto mulai banyak didatangi umat Kristiani untuk merayakan malam Natal. Tampak keceriaan di dalamnya, tak lupa yang berdatangan itu pun menaruh respek luar biasa terhadap anggota Banser, berkat toleransi beragama yang mereka contohkan.

Rintik-rintik hujan masih setia menemani. Namun tekad bulat dari Riyanto serta anggota Banser lainnya untuk menjaga kedamaian Indonesia, tidak surut karenanya.

Apa yang dikuatirkan banyak orang itu pun akhirnya terjadi. Bungkusan hitam besar mirip kado, berada di dalam Gereja saat itu. Tergeletak di kursi jemaat, tidak pada tempatnya. Kemudian, salah seorang menyeletuk: “Jangan-jangan itu bom.” Geger lah se isi Gereja.

Riyanto yang mendapat kabar, segera saja masuk guna melakukan pengamanan. Tanpa berfikir panjang, tanpa rasa takut, tanpa rasa was-was, Riyanto menggendong bungkusan itu keluar Gereja.

Baginya, kemanusiaan dan menyelamatkan manusia itu lebih utama, daripada hanya sekedar sekat-sekat agama. Karena begitulah yang telah didawuhkan oleh Gus Dur terhadapnya.

Naas. Di luar teras Gereja, bungkusan kado itu pun meledak dengan dahsyatnya, tepat di pelukan Riyanto sang pahlawan, yang lebih dari pahlawan kemanusiaan. Riyanto gugur seketika. Uniform kebanggaannya robek bersamaan dengan serpihan tubuhnya.

Rintik-rintik hujan itu pun semakin deras. Seolah langit turut menangis saat mengetahui kepergiannya. Para jemaat Gereja melongo, dan yang lainnya menjerit sejadi-jadinya melihat pengorbanan luar biasa yang dilakukan oleh Riyanto sang Banser Nusantara.

Hari itu, NU yang merupakan penjelmaan Islam Nusantara membuktikan ucapannya, tidak hanya koar-koar menjaga kebhinekaan lewat Banom Ansor Bansernya. Hari itu, seluruh Indonesia bahkan dunia kaget, bahwa Islam sadis, penuh teror yang mereka kenal, sangat berkebalikan dari apa yang mereka bayangkan.

Hari itu, sang pemuda Riyanto sudah melakukan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan. Dengan pengorbanannya, menebar cinta kasih bagi semesta alam.

Maka, perayaan Natal di Indonesia semestinya sudah tidak lagi tentang lahirnya Jesus Kristus atau tentang Santa Claus saja.

Melainkan juga penghormatan yang sangat luar biasa, terhadap apa yang telah dilakukan oleh anggota Banser Riyanto.Yang tidak semua orang, sanggup untuk melakukannya.

Desember, bulan Riyanto, bulan Gus Dur, bulan kedamaian Natal, bulan kedamaian bagi Indonesia Raya. Angkat topi setinggi-tingginya buatmu, kawan. Rahayu..

Salam Jemblem..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.