Kolom M.U. Ginting: Fahri Hamzah Bertahan?

M.U. GINTING 3Fahri Hamzah (FH) bersama Fadli Zon (FZ) sangat getol membela Setnov dalam kasus neolibnya ketika dia belum mundur dari Ketua DPR. FH tidak jauh berhitung soal perubahan yang begitu cepat di dalam semua partai yang masuk KMP. Setelah hanya tinggal 2 partai yang ‘utuh’ (PKS dan Gerindra), pastilah aliran arus ini akan menimpa sisanya juga.

FH menghitung semua terlalu statis. Setnov mundur, FH bingung, karena omong gede dan keangkuhan selama ini hanya cocok dan bisa dipertahankan kalau berada di pihak yang menang. Di pihak kalah tak ada tempatnya lagi.

Membela Setnov berarti membela politik atau kepemimpinan neolibnya. Politik ini atau leadership neolib ini semakin payah menempatkan dirinya, karena jaman sudah jadi terbuka. Ketika jaman tertutup seperti era Orba dimana berdominasi ialah ‘rahasia dan rekayasa’, politik dan leadership neolib punya hegemoni mutlak.

Jaman terbuka leadership neolib ini belum menemukan ‘bentuk baru’ untuk survive. Tetapi neolib tak akan diam, karena kalau hanya diam tak akan ada perubahan. Ini berlaku bagi semua, neolib juga. Politik pengalihan isu lewat Setnov sudah gagal total, bertahanpembelanya seperti FH juga sudah menuju satu kepastian tertentu . . . partainya sudah tak mendukung.

Di mana saja berlaku aturan, partai bisa menarik kembali semua wakilnya di lembaga mana saja, karena dia bukan perwakilan per seorangan. Aturan ini mau dilawan pula oleh FH. Memang tak ada jalan lain bagi FH kalau masih mau bertahan. Apa saja harus dilawan untuk bertahan sejauh mungkin. Siapa tahu masih bisa. Menarik juga untuk jadi tontonan sampai dimana dia bisa berhasil melawan arus deras ini. Ha ha namanya saja melawan arus, extern dan intern pula. Tak gampang.

“Publik akan menilai kelayakan sudah saatnya Fahri Hamzah mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR agar politik caci maki sirna di Bumi Indonesia tercinta, agar tidak terjadi duplikasi yang dapat merusak jiwa-jiwa rakyat Indonesia melihat ulah perilaku para pemimpinnya yang duduk di elit nasional,” tulis W. Wisnu Aji di dalam kolomnya.




Terlihat memang sekarang tendensi meluas sikap/ prilaku caci maki di Nusantara ini, tak terkecuali di kalangan pejabat/ pemimpin negeri ini. Salah satu sebabnya seperti disebutkan oleh seorang kolomnis merdeka.com (Didik Supriyanto).

“Perdebatan tanpa ideologi hanya jadi caci maki,” katanya.

Partai-partai kembalilah berideologi, dan ideologi tiap partai selalu bagus dan tiap anggota/ petugas partai patutnya menghargainya. Apalagi kalau partai-partai yang berdasarkan keagamaan, tak patutlah memaki. Partai-partai hargailah ideologimu dan tindakan dan langkah-langkah politik harus sedapat mungkin berdasarkan ideologi yang diyakini. Kalau ideologi dan politiknya bertentangan, tambah kacau.

Ideologi neolib ialah duit, duit, duit dan sumber duit serta kekuasaan dpl GREED AND POWER. Ini bikin kacau, jangan ditiru.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.