Kolom Eko Kuntadhi: GANJAR MONCER — Ganjar Diserang

Satu lagi buku pelajaran sekolah yang dicemari oleh pikiran politik. Anak-anak didik dianggap kelinci percobaan, tempat ditumpahkan segala hasrat politik para pendidik. Anak-anak polos itu dirusak oleh orang dewasa yang justru nyari makan di dunia pendidikan. Kali ini buku pelajaran SD untuk Kelas 3 dan 4, dalam mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti.

Pada buku itu ada soal, yang menyebut nama Pak Ganjar dengan konotasi negatif.

Konten yang menyebut nama Ganjar dengan konotasi negatif itu, misalnya, terdapat di halaman 102 untuk buku Kelas 3. Konten yang mirip, juga terdapat pada buku Kelas 4. Tokoh yang diserang sama: Pak Ganjar.

Penyusun atau editornya mungkin bisa ngeles, bahwa Pak Ganjar yang dimaksud bukan Ganjar Pranowo Gubernur Jateng yang namanya terus moncer itu. Mungkin mereka ngeles ini adalah ini Ganjar tokoh fiktif. Ganjar yang lain. Ganjar yang bukan Gubernur Jateng dan sosok Capres yang paling diminati rakyat itu.

Tapi kita harus ingat, Ganjar bukanlah nama generik di Indonesia, seperti misalnya Budi, Ujang, Asep, Agus, atau Iwan. Nama Ganjar cukup khas, dan gak terlalu banyak orang Indonesia memakai nama itu. Saat ini, kalau disebut nama ‘Ganjar’, orang sudah langsung mengasosiasikan dengan sosok lelaki berambut putih yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah.

Artinya, konten yang menempatkan Ganjar dalam konotasi buruk bukannya tanpa tujuan. Dan tujuannya sangat politis. Kita tahu arah serangannya ke mana. Sudah jelaslah, ini bukanlah ketidaksengajaan. Justru model ini merupakan sebuah pola yang masif dan terstruktur.

Masih ingat kan, belum lama ini juga ada guru di sebuah SMP di Cipete (Jakarta Selatan) yang membuat soal ujian kepada siswanya. Dalam soal itu, nama Mega disebut dengan konotasi negatif. Disandingkan dengan nama Anies dengan konotasi positif.

Sekali lagi, Mega dan Anies bukan nama generik di Indonesia. Kalau orang nyebut Mega dalam perbincangan, kita tahu yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP). Sedangkan Anies, merujuk pada Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang kabarnya punya hobi bekerja di dalam hati itu.

Menyudutkan nama Mega sekaligus mengangkat nama Anies dalam soal ujian SMP, mudah ketebak apa orientasi politik penulis naskah soal tersebut. Melihat ada kesamaan pola antara kasus di Cipete dan kasus Ganjar di Bekasi, saya kok yakin hal ini terorkestrasi dan terstruktur.

Artinya, ada semacam ‘perintah’ entah dari siapa untuk menyerang tokoh-tokoh politik berpotensi sambil meninggikan tokoh lainnya, meskipun minim prestasi. Dua kejadian tersebut menurut saya bukannya sesuatu yang insidental.

Kalau yang diserang Ganjar dan yang ditinggikan Anies, kita bisa tebak mahluk macam apa yang mengorkestrasi pola seperti ini. Penulis dan editor buku itu. Atau guru SMP di Cipete bisa dipastikan tergolong jenis mahluk setengah Kadrun.

Buku yang menyerang Ganjar itu dicetak dan diterbitkan oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Utama. Basis penerbit ini di Solo. Kabarnya hampir semua karyawan Tiga Serangkai, khususnya karyawan di level tengah, adalah simpatisan 212.

Bukan hanya karyawan. Juga petinggingya. Direktur Operasional penerbit tersebut Enny Rahma, adalah orang yang getol menyokong kaum monaslimin. Enny juga sangat dekat dengan Mudrick Sangidu, Ketua KAMI Solo.

Kalau serangan mereka ditujukan ke Ganjar, juga bukan sesuatu yang aneh. Ganjar Pranowo adalah tokoh yang namanya paling moncer pada survei Calon Presiden 2024 nanti. Ia menyalip Prabowo Subianto juga Sandiaga Uno.

Dalam berbagai survei Ganjar jauh mengalahkan Anies yang didukung kelompok-kelompok pengasong agama. Jadi kalau Ganjar diserang secara membabi buta, ya gak heran.

Tapi, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah dunia pendidikan yang mestinya steril dari kepentingan politik praktis, kini dikotori oleh ulah penerbit dan guru yang konyol. Mungkin penerbit, penulis, editor buku atau guru-guru itu punya ideologi politik sendiri. Mungkin mereka punya agenda.

VIDEO: Musikalisasi puisi Chairil Anwar (KARAWANG BEKASI). Mengharukan. Klik di SINI untuk menontonnya.

Tapi, menyusupkan agenda politik kepada anak-anak kita di sekolah, adalah perbuatan yang memuakkan. Jika pada buku atau soal ujian saja mereka terang-terangan mencekoki anak-anak kita dengan agendanya.

Apalagi ketika mereka berkoar-koar di dalam kelas. Barangkali bukan mengajar tentang budi pekerti yang disampaikan. Tetapi justru kebencian politik pengajarnya yang ditransfer ke anak-anak.

Mereka hanya anak SD. Belum punya wawasan politik yang cukup. Justru karena itulah menyelundupkan agenda politik ke kepala mereka termasuk perbuatan yang menjengkelkan.

Penerbit. Penulis dan editor buku seperti ini harus dimintakan tanggung jawab. Jika mau main politik, mainlah secara sehat. Jangan seperti tikus nyingying yang mengendap-endap untuk menggerogoti di kegelapan. Apalagi yang mereka rusak adalah anak-anak usia SD.

“Kok, mereka gak ada yang pakai nama Rizieq sebagai contoh ya, mas?” tanya Abu Kumkum. Satu guru, satu ilmu. Jangan ganggu…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.