Kolom Marx Mahin: GEREJA DAN BENCANA EKOLOGIS

Hari ini, dengan perasaan sangat sedih saya melihat beberapa foto dari rekan-rekan pendeta yang berada di hulu Sungai-sungai Kapuas, Katingan, Lamandau, dan Kahayan. Semua foto tentang air banjir yang menggenangi rumah penduduk, menenggelamkan bahkan membawanya hanyut.

Ini bukan banjir yang pertama kali dalam tahun ini. Ada yang ke dua bahkan ada yang ketigakalinya.

Tampaknya Jantung Borneo telah bocor dan rusak berat. Telah kehilangan daya dukungnya. Sudah tak sanggup lagi menjadi kawasan tangkapan air. Jantung Borneo sedang mengalami kerusakan ekologis yang menghasilkan bencana ekologis.

* * * *

Ada banyak cara untuk melihat dan memaknai bencana yang sedang terjadi. Ada pandangan polos dan lugu yang menyatakan banjir itu karena air hujan yang melimpah. Coba kalau hujannya sedikit maka tak terjadi banjir. Ada pandangan anak-anak dengan pikiran yang sangat naif bahwa banjir itu asyik, arena untuk bermain air sepuas hati.

Ada juga yang melihat bencana banjir sebagai kemalangan untuk orang lain tetapi keberuntungan bagi dirinya dan keluarganya. Dari mulut orang seperti ini akan keluar ucapan “syukur kita tidak tinggal di sana” atau “syukur kita sudah pindah atau tak di sana lagi”.

Ada lagi yang melihat kebencanaan sebagai ajang charity, sebagai panggung, ajang pamer untuk memperlihatkan kepedulian dan belas-kasihan. Biasanya ini dilakukan oleh para aktivis kardus, yang sedikit saja mendengar berita bencana kemudian tergopoh-gopoh mencari kardus untuk usaha dana.

Kelemahan dari beberapa pandangan di atas adalah hanya melihat banjir sebagai air mengalir namun dalam jumlah banyak. Bahkan mungkin fatalistik yaitu sebagai nasib atau takdir dari Tuhan yang tak terbantahkan atau ditolak. Manusia dilihat pasif, aktor yang tunduk, pasrah-menyerah pada situasi dan kondisi yang ada.

Ada seseorang yang hidup nyaman di kota Palangka Raya berkomentar dalam nada meremehkan demikian, “Banjir itu biasa. Tiap tahun juga begitu. Tak usah kita heboh dan banyak tanya.” Kebencanaan dilihat sebagai sesuatu yang alami terjadi.

* * * *

Saya berpendapat bencana ekologis berupa banjir itu bukanlah sesuatu yang alami terjadi begitu saja. Bukan pula takdir Ilahi untuk menguji, mencoba iman manusia. Manusia lebih menderita, miskin dan sengsara setelah bencana.

Dalam situasi seperti itu janganlah sok rohani mengharapkan orang-orang menjadi seperti Nabi Ayub yang “naik kelas secara iman” setelah melalui sekian banyak bencana.

Bencana ekologis terjadi karena manusia lalai memelihara dan merawat alam. Manusia terlalu banyak membuat kerusakan pada alam. Hal itu akhirnya berbalik kepada manusia sendiri sesuai dengan hukum tabur-tuai.

Menabur kerusakan akan menuai bencana. Ada struktur sosial, ekonomi, politik, sosial dan budaya yang jahat, rakus dan tidak adil yang menggerakkan manusia berlaku jahat dan serakah terhadap alam.

* * * *

Pada situasi seperti ini, di manakah posisi gereja dan bagaimanakah gereja harus bersikap?

Tentu saja saya tidak berharap gereja berpikiran polos, lugu dan naif. Juga tidak hanya sekedar berbelas-kasihan saja. Kalau sekedar berbelas-kasihan jangan jadi gereja, cukup jadi aktivis kardus.

Gereja (walaupun juga adalag korban) harusnya merangkul para korban dan memperingati yang mapan. Menangis dan berduka bersama orang yang menangis dan berduka. Namun mengeluarkan suara kenabian yang keras dan lantang kepada siapa saja yang mengakibatkan orang menangis dan berduka.

Video: Mengungsi Saat malam Korban Banjir di Samba Danum

Bencana juga bukan sesuatu yang mendadak terjadi. Pembelajaran dari tahun ke tahun memperlihatkan bahwa bencana itu punya jadwal atau siklus. Mestinya gereja siap dan tanggap. Jangan seperti orang “malandau” atau orang yang terlambat bangun. Bencana sudah terjadi baru beraksi.

Gereja mesti belajar dari Yusuf yang membuat keputusan bijaksana dengan menyiapkan lumbung gandum di Mesir demi menyelamatkan generasinya dari ancaman kekeringan yang melaparkan.

* * * *

Video:

Bahantung pasah indang Eem

Dalam situasi yang serba memprihatinkan, saya teringat ungkapan dari Pdt. John Wesly, “SAYA TIDAK KUATIR KALAU GEREJA ITU HABIS DAN TIDAK ADA. YANG SAYA KUATIRKAN ADALAH KALAU IA ADA TETAPI TAK BERBUAT APA-APA”.

Doa terbaikku untuk semua pendeta, gembala sidang, pastor, suster, para penatua dan diakon, yang mungkin malam ini sedang meringkuk dan menggigil kedinginan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.