Kolom Eko Kuntadhi: GERINDRA INCAR KETUA MPR — Amien Gak Diajak

Apa yang mau dibicarakan dari politik Indonesia akhir-akhir ini? Pasca Pilpres, suasana memang lebih adem. Hanya ada kasak-kusuk para petinggi untuk mengatur siapa duduk di mana, siapa mendapat apa.

Ada beberapa posisi yang sedang dibicarakan.

Pertama adalah posisi di Kabinet. Posisi ini pemegang kuncinya adalah Presiden terpilih. Meski Parpol bisa mengajukan nama-nama, tetap saja ujungnya adalah hak prerogratif Presiden.

Posisi yang tidak kalah penting ada di parlemen. Ini menyangkut Ketua DPR dan serenceng wakilnya, Ketua MPR dan wakil-wakilnya, juga ketua-ketua komisi. Bedanya untuk posisi-posisi di parlemen, penentunya adalah suara terbanyak. Atau partai dan gabungan partai dengan kekuatan besar.

Kita ingat drama pemilihan Ketua DPR awal Periode 2014 lalu. Ketika itu, parlemen dikuasai oleh kubu oposisi. Dulu Golkar masih di sana. Makanya Golkar yang bukan pemenang pemilu bisa duduk sebagai Ketua DPR. Sementara PKS yang di urutan bawah, malah bisa menempatkan wakilnya. Semuanya ditentukan oleh jumlah perolehan kursi dominan. Koalisi mana yang lebih kuat.

Maka jangan kaget kita lihat kemarin ketua-ketua partai koalisi Jokowi-Amin bertemu bersama. Ada Muhaimin Iskandar (PKB), ada Surya Paloh (Nasdem), ada Erlangga Hartarto (Golkar) dan ada Suharso Monoarfa (PPP). Mereka berjumpa, bertatap muka, lalu memberikan keterangan pers.

“Kami solid,” ujar Cak Imin.

Artinya, jika kursi PPP, PKB, Goklkar dan Nasdem digabung, jumlahnya lumayan juga. Jadi kata solid itu, bisa punya makna daya tawar.

Apa yang bisa kita tangkap? Justru ketua-ketua partai itu sedang agak resah. Pasalnya, setelah pertemuan di MRT kemarin, rencananya akan digelar pertemuan lanjutan antara Prabowo dan Jokowi. Kali ini plus Megawati Soekarno Putri. Orang pasti mengira, pertemuan ini mengkerucut pada peluang yang semakin besar bagi Gerindra untuk mencicipi kue kekuasaan.

Secara langsung Gerindra sendiri sudah memberikan sinyal mereka mengincar kursi Ketua MPR. Sementara sesuai UU, posisi Ketua DPR memang jatah partai pemenang Pemilu, yaitu PDIP. Aturan mengenai Ketua MPR tidak serinci itu. Gerindra bisa saja mengincar posisi tersebut.

Gerindra merasa sebagai partai dengan suara terbesar ke dua, wajar jika kursi ini diincarnya. Sedangkan Golkar sepertinya tidak mau lepas begitu saja. Meski suara Gerindra total 12,57% dan Golkar hanya 12,3%. Tetapi, untuk perolehan kursi DPR, Golkar lebih unggul dengan 85 kursi dibanding 78 kursi untuk Gerindra.

Bukan hanya posisi Ketua DPR dan MPR, di sana juga ada wakil ketua dan ketua-ketua komisi. Artinya, pertemuan ketua-ketua partai koalisi Jokowi-Amin sambil konfrensi pers mengatakan, “kami solid’ adalah semacam kode, bahwa Presiden dan PDIP sebagai partai pemenang harus tetap memperhitungkan mereka.

Kalau dibaca isu masuknya Gerindra menjadi bagian dari koalisi Jokowi-Amin, ini memang membuat suasana penuh riak. Dari partai koalisi Jokowi, seperti ada penolakan halus agar Gerindra tetap di luar. Wajar saja. Masuknya tambahan partai ke dalam koalisi akan mengurangi jatah mereka nantinya. Apalagi Gerindra punya suara signifikan.

Sedangkan di kalangan pendukungnya, Prabowo mengalami hujatan luar biasa. Khususnya pendukung fanatik gerombolan Islam politik. Mereka memang hendak menungangi Prabowo untuk melancarkan kepentingannya. Kalau kemudian Prabowo berakrab-akrab ria dengan Jokowi, mereka merasa sakit hati banget.

Lantas, bagaimana dengan partai koalisi Prabowo yang lain?

PKS memilih tetap sebagai oposisi. Mereka menabung untuk 2024. Jika Gerindra dan semua partai lain masuk koalisi pemerintah dan hanya PKS yang menjadi oposisi, otomatis PKS akan mendapat keuntungan elektoral pada Pemilu yang akan datang. Inilah yang diharapkan PKS. Hambatan PKS adalah lahirnya Garbi, partai baru yang digawangi Fahri Hamzah dan Anis Matta.

Demokrat seperti biasa, bermain drama lembut. Beberapa hari setelah Pilpres, partai ini sudah balik badan paling dulu merapat ke Jokowi. Entah bagaimana nanti hasilnya.

Bagaimana dengan PAN? PAN degdegan juga dirinya mulai gak direken karena Jokowi berhasil langsung menggandeng Prabowo. Mereka resah. Mereka berusaha cari perhatian. Jadi, membaca omongan Amien Rais yang mengajukan syarat rekonsiliasi harus 55:45 dalam pembagian kekuasaan, itu maknanya, “Pak Prabowo, PAN jangan ditinggal, dong. Kan PAN mau juga diberi jatah kursi.”

Sementara Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan lain lagi cara merengeknya. “PAN mendukung tanpa syarat,” ujarnya.

“Baik Pak Amien maupun Pak Zulkifli keduanya terkesan minta dikasihani, ya, mas,” ujar Abu Kumkum.

Lha nih, bocah ngerti juga bahasa kode di dunia politik…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.