Kolom Joni H. Tarigan: HENING YANG MENGEJUTKAN

 

May 2010, hari itu Sabtu di pangkalan bus Keramatjati Cepu. Anda tahu kan apa yang membuat Cepu itu terkenal? Ya, minyak dan gas. Wilayahnya sangat panas, tetapi padi di sawah cukup subur.  Di sinilah terdapat akadami perminyakan yang dahulu sangat terkenal sampai ke mancanegara. Bahkan Malaysia pun berguru tentang explorasi minyak di AKAMIGAS Cepu.

Permukiman tidak terlalu padat dan, di salah satu pinggiran Cepu Kramatjadi, ada pangkalan bus. Saya tidak tahu persis ke mana saja tujuan busnya. Sore itu, saya dan beberapa teman menaiki bus Kramatjadi Cepu – Bandung.

Perjalanan yang menyenangkan, menyaksikan bentangan pohon-pohon jati yang tidak mampu mengejar bus kami yang melaju kencang. Pemandangan kebun jati kemudian berganti dengan permukiman yang tidak terlalu padat, tanah yang terlihat putih yang mungkin jenis tanah atau batuan kapur. Ternyata nama tempat itu adalah Blora.

Petang berganti malam, bus kami tetap melaju. Awalnya mata tak bisa memejam karena deruan mesin dan juga hentakan karena bus yang bergoyang mengikuti irama jalan yang bergelombang. Malam semakin larut, dan sudah terasa sepi. Pandangan jauh di depan sangatlah jauh. Semua penumpang sudah terlelap. Hentakan karena bus yang tergoncang dan bunyi desingan mesin tidak lagi mampu mengganggu tidur penumpang, termasuk saya.

Saya tiba-tiba terbangun karena terkejut.  Yang membangunkan saya adalah suara mesin dan goncangan mobil yang sudah tidak ada lagi. Bukan bunyi bising yang membuat saya tersadar, tetapi justru karena kesunyian.

Lama sebelumnya saya juga mengalami hal yang sama ketika saya mengantar adik ke Yogyakarta pada 2006. Saya lupa tepatnya kapan. Tujuan kami adalah ke Yogyakarta dan kami berangkat dari Bandung. Adik saya ingin kuliah di UGM dan atas tujuan itulah kami menaiki kereta ekonomi dari Bandung menuju Yogyakarta.

Selain bunyi rintihan roda kereta, pedagang yang lalu-lalang sangat menggangu dan sangat sulit untuk memejamkan mata. Kebetulan kami berangkat malam, sehingga kami sebenarnya ingin istirahat selama perjalanan. Akan tetapi, ketika itu Ignatius Jonan belum memimpin PT KAI sehingga sangatlah tidak nyaman dengan perjalanan kereta ekonomi.

Entah pukul berapa kami akhirnya tertidur juga. Kami sadar bahwa kami telah tidur ketika kami tidak lagi mendengar suara rintihan roda kereta. Tidak juga terdengar suara gerbong yang bergetar.  Kami terbangun bukan karena keriuhan, kami terbangun karena senyap.

Hari ini, Jumat 13 Januari 2017 banyak hal yang sudah berubah. Banyak juga yang begitu-begitu saja.  Setelah merenungkan kembali dua perjalanan saya dengan mana justru kesunyian yang membangunkan dari tidur, maka saya pun menarik suatu kesimpulan bahwa: “Perubahan adalah tanda dari adanya kehidupan. Jika tidak ada perubahan maka sama saja artinya mati.”

Perubahan itu sendiri bisa jadi baik bisa juga buruk. Manusia punya pilihan untuk menjadi bagian yang baik atau menjadi yang buruk, akan tetapi yang tidak bisa dipilih adalah akibatnya. Keburukan akan mendatangkan keburukan, sebaliknya kebaikan bisa mendatangkan kebaikan, tetapi disisi lain kebaikan bisa juga berbuah keburukan. Manusia yang memiliki akal dan pikiranlah yang membuat hidup ini menjadi relatif antara baik dan buruk, dan relatifisme itulah yang membuat hidup itu berubah sehingga menjadi benar-benar hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.