Renungan Natal: Hidup Bersama Sebagai Keluarga Allah (Kejadian 9:16)

Oleh: Vic. Kazpabeni Eben Ezer Ginting (Jambi)

 

Kazpabeni“Ada kartu membernya, pak?” kata petugas kasir kepada saya saat ingin membayar belanjaan di sebuah supermarket. Saya hanya merespon dengan menggeleng kepala.

Apa manfaat memiliki kartu member di sebuah tempat perbelanjaan? Tentu ada banyak. Kita bisa mendapatkan potongan harga atau bahkan mendapatkan merchandise di hari-hari tertentu. Maka, tak sedikit pula orang yang memilikinya dan sudah mempersiapkannya saat akan membayar. Namun, untuk menjadi anggota member tidak hanya keuntungan saja yang kita peroleh, tapi ada kewajiban yang harus dipenuhi. Entah itu biaya registrasi, iuran dan lain-lain.

“Hidup Bersama Sebagai Keluarga Allah” adalah tema Natal PGI dan KWI Tahun 2015. Berangkat dari kisah pembaharuan perjanjian antara Allah dengan Nuh dalam Kejadian 9:16 menjadikan tema Natal ini begitu menarik. Kisah pembaharuan perjanjian yang ditunjukkan Allah dengan perlambangan busur awan (pelangi) tidak terlepas dari kisah heroik Nuh sewaktu membuat bahtera untuk menghadapi air bah yang memenuhi bumi. Meski ada anggapan dari sebagian teolog bahwa kisah tersebut hanyalah semacam legenda/ cerita rakyat, bukan berarti kita tidak bisa menyerap makna darinya.

Membuat bahtera adalah satu keputusan yang besar dalam kisah hidup nabi Nuh. Pengajar sekolah minggu kerap mendramatisir kisah pekerjaan Nuh yang diolok-olok karena tidak logis. Kisahnya menjadi heroik karena air bah benar-benar terjadi dan seisi bahtera selamat dari bencana itu. Namun ceritanya tak hanya sampai di situ. Mari kita berimajinasi bagaimana luluh-lantaknya keadaan daratan yang baru saja digerus air bah (bayangkan saja seperti banjir bandang).

Keadaan itu tentu tidak menyenangkan. Pada saat itulah Allah menunjukkan pengharapan baru melalui pelangi sebagai pertanda penghukuman telah usai dan Natal 10Tuhan berjanji tidak akan mengulangi lagi bencana sedemikian rupa. Bahtera yang tadinya menjadi bahan olokan justru menjadi pemersatu yang menyelamatkan ‘membernya’.

Kisah kelahiran Yesus sang Juruselamat juga tidak diceritakan dengan kesan mewah bersahaja. Raja Mulia itu datang ke dunia melalui fase-fase yang sulit. Mulai dari kebimbangan Yusuf untuk menerima tunangannya Maria yang sudah hamil sebelum menikah. Kemudian atas perintah Kaisar Agustus yang memaksa Yusuf serta Maria harus berangkat dari Nazaret ke Bethlehem untuk keperluan sensus. Bahkan pengancaman Herodes yang memerintahkan untuk membunuh anak-anak di bawah umur 2 tahun sehingga Yusuf harus membawa keluarganya menyingkir ke Mesir.

Saudara sekalian, setiap kita mendambakan kedamaian dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Tapi dalam upaya kita memperoleh keinginan itu, kita selalu diperhadapkan dengan situasi dimana kita harus memilih. Setiap pilihan diikuti oleh resiko.

Seorang suku Karo hidup melakoni adatnya (radat) untuk mendapatkan tempat dalam masyarakat adat di suku Karo itu sendiri. ‘Mekade-kade’ merupakan konsep give (endi) and take (enta) sehingga pengorbanan waktu, tenaga dan materi tidak menjadi masalah dengan harapan bisa menuai hasil yang telah ditabur sebelumnya. Membership semacam inilah yang terus menerus terpelihara sebagai masyarakat yang beradat.




Demikian halnya dengan pilihan untuk mengikut Kristus (kristianoi). Nuh menyerahkan dirinya untuk tergabung dalam keanggotaan keluarga Allah di dalam bahtera hingga menyaksikan pelangi tanda perjanjian yang kekal. Yusuf dan Maria juga mempasrahkan jalan hidupnya dalam rancangan kehadiran Juruselamat, sehingga sampai sekarang kita memperingati kehadiran ‘pelangi baru’ di dalam Yesus Kristus di setiap Natal kita.

Ada ajakan dalam kisah-kisah tersebut bagi kita untuk menjadi member/ anggota keluarga Allah. Menjadi member bukan untuk mendapatkan kemudahan atau keuntungan saja, tapi dengan menjadi member/ anggota keluarga Allah kita memperoleh ‘pelangi baru’ sebagai pengharapan baru dalam keimanan kita. Sehingga sesulit apapun jalan yang sedang kita lalui kini, bahkan dalam suasana Natal ini, tetap ada kedamaian dalam hati. Anak sekolah pun harus melewati ujian semester untuk bisa naik level. Demikian juga kesulitan dan kesusahan kita justru menjadi jalan untuk bersatu dengan keluarga Allah.

Sesekali pergilah ke atas bukit ketika hujan sudah reda. Pandanglah nun jauh di sana: “Seperti busur pelangi, yang terlihat pada musim hujan di awan-awan, demikianlah kelihatan sinar yang mengelilinginya. Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN. Tatkala aku melihatnya aku sembah sujud, lalu kudengar suara Dia yang berfirman” (Yehezkiel 1:28).

Pelangi itu menjadi tanda perjanjian kekal Allah bahwa kita adalah keluarga yang dikasihi-Nya. Jikalau Tuhan setia pada janji-Nya, masa’ kita berani ingkar?

Selamat Hari Natal 25 Desember & Menyambut Pergantian Tahun ke 2016.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.