Kolom Nisa Alwis: HINGGA SUATU KETIKA

Islam di Tanah Air kita aman sentosa dan asyik-asyik saja tatkala berpadu dengan nilai-nilai kultural, berbudaya. Masih ingatkah dulu kita mengaji pakai kerudung tipis sudah cukup? Wanita masih bisa berhias menata rambutnya, memilih baju sesuai seleranya. Nggak ada dikit-dikit dosa, ngga ada anggapan kurang hidayah, kurang iman hanya karena model pakaian. Anak sekolah pakai rok selutut biasa saja, bukan harus berlapis-lapis dari ujung rambut hingga kaki.

Padahal, kelembaban udara di sini tinggi.

Siapa dulu yang bebas main gobag, kasti, main lompat tali, jatuh bangun rok kesingkap, nggak ada guru dan ortu yang marahi? All was fun, normal and so much fine. Pergaulan ditanamkan ramah-tamah dengan siapa saja. Laki-laki perempuan tidak harus ribet dipisah-pisah.

Batas-batas dan moralitas jangan khawatir, semua punya. Hidup saling tegur sapa dengan rukun. Kesahajaan tetap indah karena banyak banyolan, seringan hari-hari Nyi Iteung dan Kang Kabayan.

Lalu, serentak, otak mulai diinstal bahwa aurat itu syahwat. Kalau ngga ditutup akan gawat. Di pikiran mulai tertanam bahwa keterbukaan adalah keliaran #crocbrain. Muncullah rambu-rambu baru, hal-hal yang wajar jadi tabu. Negeri nan indah ini, perlahan berubah tegang dan kaku.

Iteung dan Kabayan kehilangan ekspresinya yang dulu. Dihadang oleh Satpam-Satpam halu. Mengawasi para lelaki menjaga para perempuan dalam ketertutupan setertutup-tertutupnya kehidupan… Dueeeerrrrr!!

#change#startfromyou

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.