Kolom Eko Kuntadhi: HORMAT KAMI PADA 119 PETUGAS PEMILU — Yang Korbankan Nyawa

Eko Kuntadhi

Ada 119 orang meninggal. Semestinya ini sudah bisa dikatakan bencana. Mereka adalah orang yang terlibat dalam proses Pemilu 2019. Ada petugas KPPS, panitia pengawas, atau polisi. Rerata meninggal karena kecapekan. Pemilu yang digabungkan antara Pileg dan Pilpres memang membuat kerja makin panjang. Katakan setiap TPS berisi 300 pemilih. Setiap pemilih mencoblos 5 surat suara.

Artinya ada 1500 surat suara yang harus diperhatikan.

Jika proses penghitungan satu surat suara membutuhkan waktu 1 menit, dibutuhkan 1500 menit untuk penghitungan saja, atau 25 jam, nonstop. Belom lagi masa persiapan, pencoblosan, dan sebagainya. Wajar kalau ada petugas yang tidak sempat istirahat cukup.

Kelelahan. Itulah masalahnya. Lelah karena harus memastikan Pemilu berjalan adil dan jujur. Sebab tekanan begitu berat. Jauh sebelum pencoblosan segerombolan orang sudah menuding-nuding KPU curang. Jika tudingan itu dibiarkan masa depan Indonesia jadi taruhannya.

Petugas di bawah itu sadar ada beban berat di pundaknya. Amien Rais mengancam people power. Prabowo berteriak kalau dirinya kalah berarti dicurangin. Para politisi tua ini gak peduli ada rakyat yang mempertaruhkan nyawanya untuk Indonesia. Yang mereka fikirkan hanya syahwatnya sendiri.

Sebuah penelitian UGM mendapatkan bahwa 50% serangan ke KPU dilakukan oleh akun robot. Berdomisili di Jakarta dan Jabar. Tudingan KPU curang diorkestrasi oleh orang menggunakan mesin. Ini namanya sengaja mau merusak.

Artinya para petugas sadar, Pilpres bisa jadi batu sandungan. Kegagalan Pemilu berbuntut pada kahancuran sebuah bangsa. Mereka gak mau melihat negeri yang dicintainya dirusak oleh gerombolan srigala. Mereka memilih bekerja keras ketimbang memberi celah alasan pembenci Indonesia itu menjalakan aksinya.

Meski bayarannya gak seberapa petugas pelaksana pemilu di bawah memikul nasib dan masa depan bangsanya. Mereka hanya ingin memastikan setelah Pemilu bangsa ini kembali normal. Bekerja bersama. Hidup bersama.

Makanya setiap kali saya mendengar politisi menuding pemilu curang, tanpa ada bukti konkrit, saya selalu muak. Setiap kali para pengasong agama ngomporin Prabowo untuk mengerahkan masa ke jalan, saya juga muak.

Tidakkah mereka sadar ada ratusan nyawa melayang untuk sekadar menjalankan pemilu yang adil dan jujur? Adakah sedikit penghargaan mereka pada anak yang menjadi yatim dan istri yang kehilangan pegangan?

Tidakkah mereka melihat pengorbanan rakyat kecil untuk bangsanya. Jangankan hanya tenaga. Bahkan nyawapun diberikan asal bangsa ini bisa berjalan normal. Sementara ada Capres ngomong soal berani berkorban nyawa, salaman saja pakai sarung tangan.

Kata orang kecintaanmu bisa diukur dari seberapa besar engkau berkorban. Para petugas di bawah itu sudah membuktikan kecintaan yang besar pada bangsanya. Harusnya para politisi ngehek itu malu. Bukan malah teriak-teriak seperti tidak menghargai pengorbanan rakyat.

Kita harus menundukkan kepala pada mereka yang wafat karena menjalankan tugas mulianya. Juga kepada mereka yang sakit. Hormat kita pada seluruh petugas KPPS, Panwas, Polisi, Birokrasi desa dan semua orang yang mewujudkan Pemilu terbesar dan terumit di dunia ini.

Meski pemilu berjalan normal, kita tetap harus evaluasi. Pemilu yang digabungkan ini benar-benar menyita waktu. Menyita energi dan tenaga. Semoga tidak ada lagi nyawa melayang.

Kepada mereka yang wafat, alfatehah…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.