Kolom M.U. Ginting: Filipina dan Indonesia dalam Narkoba

Hari ini seorang pengedar sabu-sabu ditembak mati di Medan oleh tim BNN Pusat. Sumber Foto: Tribune Medan. Berita selengkapnya baca di SINI.

 

Orang Filipina pesta sabu di Indonesia begitu turun dari kapal turis di Bali, karena di Filipina tidak akan lama umurnya. Dia bisa langsung mati, karena sistem pemberantasan narkoba Duterte sangat efektif dan tanpa diskriminasi dan tanpa argumentasi. Pengedar, pengguna, pedagang narkoba, langsung diselesaikan atau apalagi bos narkoba, tidak mungkin ada sejarah lanjutannya. Tidak mungkin lagi orang-orang ini melanjutkan ‘usahanya’ dari Lapas, misalnya (Kecuali dari alam baka).

Kematian dan pembunuhan sadis yang sering terjadi di Indonesia seperti bunuh anak sendiri, bunuh ibu sendiri dan bahkan makan dagingnya, begal yang main bunuh saja dsb, pada umumnya adalah karena tindakan orang-orang yang sudah mabuk narkoba, yang otaknya sudah rusak, atau sudah bukan manusia lagi, tetapi sudah jadi ‘setengah manusia’.

Otaknya sudah 100% tidak normal. Bagi orang-orang ‘setengah manusia’ ini, tidak ada bedanya, membunuh atau dibunuh atau makan daging ibunya sendiri. Karena itu juga sistem Duterte tidak membedakan pengguna atau pengedar atau bos narkoba. Semua dapat hukuman sama tanpa diskrimansi dan tanpa argumentasi.

Mengenai pembunuhan sadis di Indonesia itu, banyak juga ‘ahli’ yang mengatakan orang-orang pembunuh ini karena stres hidupnya. Karena juga tiap kali terjadi pembunuhan, para pembunuh ini tidak diperiksa kadar narkobanya. Orang stres kan tidak makan daging anaknya atau ibunya? Atau bagaimana?

Antara 40-50 orang mati tiap hari di Indonesia akibat narkoba, menurut keterangan dari Presiden Jokowi sendiri. Ini artinya dalam sebulan tewas 120-150 orang, dan selama 6 bulan antara 800-900 orang, hampir sama dengan sistem Duterte yang diperkirakan 6000 orang dalam waktu 6 bulan kekuasaannya, atau mendekati 1000 orang tiap bulannya.

Di Filipina

Tetapi, di Indonesia,  semua yang jadi korban mati adalah orang-orang yang biasa, atau anak-anak muda biasa yang sudah terjebak ke dalam jurang pengaruh narkoba. Bukan pengedar, pebisnis atau gembong narkoba. Itulah beda utama dengan kematian 1.000 orang tiap bulan di Filipina dan kematian 900 orang tiap bulan di Indonesia. Dari segi angka hampir sama atau lebih sedikit di Indonesia! Tetapi dari segi siapa yang tewas, besar sekali bedanya.

Angka kematian akibat narkoba di Indonesia sedikit di bawah angka kematian di Filipina dalam sistem pemberantasan Duterte yang mencapai angka 1000 orang/ bulan atau 6000 orang/ 6 bulan kekuasaan Duterte. Di Filipina, yang dihabiskan tiap hari itu, banyak gembongnya, pengedar dan bos narkoba. Juga di kalangan para pejabat, tetapi juga penyandu yang sudah jadi ‘setengah manusia’ itu.

Sayangnya, dan itulah sayangnya, yang tewas di Indonesia diantara 40-50 ini bukan pengedar atau gembong narkoba atau bos narkoba atau termasuk dari pejabat. Karena itu, peredaran atau bisnis narkoba di Indonesia pasti akan semakin bersemarak dan angka kematian 40-50 itu akan meningkat terus. Sebab utamanya dan beda utamanya dengan Filipina, karena gembong, pebisnis dan pengedar narkoba tidak ikut tewas dalam angka 40-50 itu. Padahal, orang-orang inilah yang harus cabut kalau mau narkoba hilang.

Gembong dan pengedar narkoba hidup terus dan jalan terus bisnisnya, terutama dari Lapas seluruh Indonesia! (menurut keterangan deputy narkoba irjen Arman Depari).  Lapas telah menjadi pusat marketing narkoba, pemasaran dan pengguna. Termasuk sebagai pasar keterlibatan pejabat dalam bisnis narkoba ada di Lapas.




Mengingat bagaimana pesatnya dan besarnya arus pemakaian dan cepatnya pendirian fabrik-fabrik narkoba di mana saja seluruh dunia. Juga semakin bersemaraknya peraturan-peraturan berbagai negara yang meringankan pemakaian dan pelegalan bisnis narkoba ‘ringan’. Banyak juga penanaman secara legal tanaman narkoba ‘ringan’ dsb, semuanya atas tekanan dan pengaruh dari pebisnis narkoba/ neolib.

Karena itu, tidaklah bisa dibayangkan ada cara yang efektif atau yang suatu waktu mungkin bisa berhasil membasmi narkoba selain sistem pemberantasan Duterte yang sudah terkenal itu. System yang sangat ditakuti oleh gembong pebisnis narkoba dan juga banyak sekali kepala negara dunia yang ‘lembut’ terhadap narkoba.

Dari situasi Indonesia sendiri, dari fakta-fakta harian, pembunuhan sadis, bunuh anak atau orang tua, makan daging ibunya sendiri dsb, dan sudah jadi negara darurat narkoba juga, harus mempetimbangkan sistem pemberantasan Duterte. Bukan untuk membela penyandu narkoba tetapi untuk membela bangsa ini dan survival nation ini. Janganlah berdalih ‘rehabilitasi’ dan ‘kemanusiaan’.

Rehabilitasi dan menjaga kemanusiaan Indonesia ialah dengan menghilangkan narkoba dan pengaruhnya. Caranya hanya dengan sistem pemberantasan Duterte. Perlu diingat bahwa narkoba adalah salah satu dari 3 alat besar neolib untuk menghancurkan, memecah belah dan selanjutnya menguasai satu negara (terorisme, narkoba, korupsi).





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.