Kolom Edi Sembiring: JAGUNG DAN POLITIKUS

Ketika diberikan ide pendirian industri pengeringan jagung hingga industri pakan ternak, langsung ada pro dan kontra. Bahkan ada politikus yang menihilkannya dengan mendewakan industri besar di kota yang 2 jam jaraknya dari kampungku. Seakan petani tak berhak beroleh untung lebih bila kedua industri itu dimilikinya dan ada di kampungnya.

Politikus kampungku banyak bicara tapi kurang membaca.

Hingga petani jagung di matanya hanya menjadi komoditas politik belaka tanpa pernah tahu akan komoditas jagung itu sendiri. Padahal, produk dari jagung banyak turunannya.

Bila harga jagung pipilan turun, ada keuntungan lain di depan mata dari jagung. Misalnya dari kabar September 2019 dimana ekspor tongkol (bonggol) jagung kering ke Jepang dari Belawan. Dari Januari hingga Agustus telah dieskpor 1.000 ton. Nilainya ekonominya mencapai Rp 2 miliar.

Sumber tongkol jagung? Dari kampung kita ternyata. Beberapa dari Deli Serdang. Pengolahan yang dilakukan adalah menggilingnya dengan ukuran 30 mm, dan dijemur hingga kadar airnya 14%. Setelah itu kembali digiling dengan ukuran 4-8 mm dan terakhir dipress dan dikemas dalam karung.

Jepang memanfaatkan limbah jagung sebagai bahan pakan ternak. Tepung kering yang disebutnya concobu ini mengandung berbagai jenis asam amino, karbohidrat komplek, protein dan mineral seperti zat besi, mangan. Sumber nutrisi ini sangat penting bagi pencernaan hewan.

Sejak 2009 Pemerintah Kabupaten Probolinggo juga telah mengekspor bonggol jagung ke Jepang yang mencapai 3.600 ton atau senilai Rp 6,3 miliar. Selama ini, Thailand menjadi pengekspor utama kebutuhan bonggol jagung di Jepang.

Kabupaten Lombok Timur juga sudah mengekspor serbuk tongkol jagung (corn cobs meal) ke Korea Selatan. Serbuk tongkol jagung ini digunakan sebagai salah satu bahan untuk media tanam pada budidaya jamur merang dan dapat digunakan juga untuk bahan baku pakan.

Persyaratan yang diminta Korea Selatan antara lain kadar air maksimal 15% ukuran 1 hingga 8 mm, packing 30 kg per bag (tergantung buyer) serta jumbo bag per pallet. Persyaratan lain yang sangat penting adalah serbuk tongkol jagung harus mampu menyerap air dengan baik.

Permintaan dari Korea Selatan saat ini sebesar 400 ton. Harga jual ekspornya sekitar Rp 1,9 juta per ton. Di dalam negeripun, petani jamur merang kian bermunculan. Pemakaian serbuk tongkol jagung kian banyak. Jepang juga butuh daun jagung. Jepang membutuhkan daun jagung untuk penutup tanah pada saat musim dingin.

Telah diekspor 1.000 ton daun jagung dengan harga USD 100 per metrik ton. Total hasil ekspor pun ditaksir mencapai USD 100 ribu atau Rp 1,4 miliar (bila USD 1 = Rp 14.280). Sumbernya dari pertanian jagung di Sumbawa dan Bima di Nusa Tenggara Barat, dan juga Nusa Tenggara Timur.

Okelah, kita tak usah berbicara soal ekspor dulu, kita bicara pasar dalam negeri saja. Tongkol jagung juga bisa diolah jadi bricket atau arang tongkol jagung, kripik tongkol jagung, kerajinan tongkol jagung hingga pertanian jamur merang dan bahan pakan peternakan.

Saya kira apa yang melimpah di depan mata ini tak terlihat di mata politisi. Tapi bagi para petani jagung ini bisa menjadi peluang keuntungan. Jadi, lupakan Paslon Cakada dalam debat kemarin yang berapi-api dan bangga mengatakan nilai jual jagung beberapa bulan ini tinggi.

Padahal petani tahu itu bukan berkat perannya. Sementara saat di bulan lain anjlok, beliau entah ke mana.

Tak kalah penting yang dilupakan oleh incumbent selama ini bahwa menurunkan modal pokok produksi adalah hal yang dapat dilakukan. Misalnya dengan memberantas mafia pupuk dan pupuk palsu. Dan tentu membenahi infrastruktur.Tapi sepertinya akan baru dijanjikan dalam Pilkada kali ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.