Kolom Eko Kuntadhi: JANGAN BELAGU MENOLAK VAKSIN — Belum Tentu Juga Kebagian

Presiden Jokowi besok akan divaksin. Lusa akan ada vaksinasi serentak. Biofarma udah selesai melakukan ujiklinis Vaksin Covid19 asal Sinovac. Hasilnya memuaskan. Tidak terjadi efek negatif. Uji dengan hasil serupa juga dilakukan di Brazil dan Turki. Jadi, kalau kita divaksin, insyallah, aman.

MUI juga berpendapat vaksin ini suci dan halal. Syukurlah.

Saat orang di seluruh dunia sibuk meneliti vaksin, kita malah direpotkan meneliti kandungan babinya. Tapi okelah. Hasil uji itu menunjukan gak ada lagi keraguan. Baik dari sisi medis maupun agama.

Jika pun semua aman dan halal, kita sendiri harus menunggu waktu cukup lama buat divaksin. Karena jumlah produksinya belum cukup di seluruh dunia. Kini semua negara berlomba berebut membeli vaksin ini.

Siapa cepat dia dapat.

Begini. Penduduk dunia ada 7,8 miliar. Jika WHO mensyaratkan 70% penduduk dunia divaksinasi, akan ada 5,5 miliar orang yang harus divaksinasi. Jika per orang butuh 2 dosis vaksin, butuh 11 miliar dosis vaksin.

Padahal kapasitas produksi vaksin dunia hanya 6,2 juta miliar dosis per tahun. Itu pun dicampur untuk produksi vaksin yang lain juga seperti TBC, Polio, difteri, campak, dll.

Hitung-hitungannya. Untuk memenuhi kebutuhan vaksinasi seluruh dunia butuh waktu berproduksi sampai 3,5 tahun.

Jika di seluruh dunia ada 10 ribu orang mati per hari karena Covid19. Hitung aja, berapa jumlahnya kalau sampai 3 tahun ke depan belum divaksin. Saat ini pemerintah di seluruh dunia sedang sibuk mengamankan negerinya masing-masing. Mereka berjibaku mencari sumber-sumber produksi vaksin agar negerinya aman.

Ini juga penting bagi kelanjutan kehidupan negara itu.

Begini. Di masa depan, negara di dunia mungkin akan mengambil kebijakan hanya membuka diri kepada negara-negara lain yang dipastikan vaksinasinya maksimal. Negara-negara yang telat mengakses vaksin, otomatis akan terkucil. Karena negara lain takut berhubungan dengan mereka.

Keterkucilan ini pasti berakibat pada ekonomi negara tersebut. Katakanlah negara miskin. Mereka gak sanggup bersaing mendapatkan jatah vaksin dalam waktu dekat. Negara ini akan dihindari oleh negara lain, karena resiko kesehatan.

Apa akibatnya?

Ekonomi negara itu akan makin terpuruk. Imbas krisis kesehatan ini, menjadi krisis ekonomi, lalu krisis politik, lalu krisis kemanusiaan. Negara dengan pemerintah yang korup hingga gak mampu mengakses vaksin ini akan sangat menderita. Bukan hanya buat rakyatnya. Juga buat seluruh negeri.

Negara yang kini masih dilanda konflik, penderitaanya akan jauh lebih parah. Pemerintahnya gak sempat mikirin kesehatan rakyatnya. Mereka masih sibuk berperang.

Covid19 akan semakin memperparah negeri yang sebelumnya sudah parah kondisinya. Betapa mengerikan dampaknya.

Makanya semua negara berlomba mengamankan pesanan vaksinnya. Sama kayak awal pandemi, kita juga berebut mengamankan pesanan APD. Kanada misalnya, sudah berhasil mengamankan vaksin sebesar 4 hingga 5 kali populasinya. AS , 3 kali, dan Inggris 2 kali populasi.

Indonesia sendiri baru bisa amankan 329 juta dosis; 125 jt Sinovac, 50 jt Novavak (Amrik), 50 jt AstraZeneca (Inggris), 50 jt Pfizer (Amrik), 54 jt Covax/Gavi (WHO).

Kebutuhan kita sendiri 362 juta dosis. Jadi kita masih harus berjuang berebut dengan negara-negara maju.

Kenapa kita butuh 362 juta dosis vaksin?

Hitungannya begini. Penduduk Indonesia ada 269 juta. Yang usianya di atas 18 tahun ada 188 juta. Kalau dikurangi, ibu hamil dan orang dengan komorbid berat atau sudah pernah terpapar covid, ada sekitar 181 juta orang yang layak mendapatkan Vaksin.

Jika per orang butuh 2 dosis maka Indonesia perlu minimal 362 juta dosis. Dimana mencari kekurangan yang 40 juta dosis lagi. Inilah yang masih terus dikejar pemerintah. Seperti kata Jokowi, hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat.

Untuk itulah kita sedang berjuang mendapatkan vaksin ini. Dengan segala energi dan sumber daya.

Sementara di dalam negeri biofarma sendiri terus digenjot untuk bisa berproduksi maksimal. Kita tahu, BUMN kita ini emang dikenal jagoan memproduksi vaksin. Biofarma menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan farmasi dunia yang menyediakan bibit vaksin.

Kita berharap, ketika sudah berproduksi massal nanti Biofarma mendahulukan kebutuhan dalam negeri dulu. Bukan hanya biofarma, lembaga Biologi molekuler Eijkman juga sedang sibuk mengembangkan vaksin varian asli Indonesia.

Kita kenal dengan vaksin merah putih. Tapi baru pada tahap penelitian awal. Belum bisa digunakan dan diproduksi masal. Saya ingin bilang begini. Suasana saat ini amat menentukan masa depan sebuah negara. Menentukan masa depan sebuah bangsa. Pemerintah kita keras bersaing dengan negara-negara maju untuk memastikan jatah vaksin buat kita. Agar rakyat Indonesia bisa kembali hidup normal.

Pemerintah juga sudah mengambil keputusan menggratiskan vaksinasi. Tapi sialnya, masih ada suara yang menolak soal vaksin ini. Hoax dan informasi palsu disebarkan. Pandangan agama yang ngaco ikut diviralkan. Agar rakyat menolak vaksin.

Apa tujuan mereka?

Kalau membaca peta besarnya tadi, negara yang gagal dalam proses vaksinasi Covid19 ini bisa dipastikan akan terjerembab dalam kubangan masalah lebih dalam. Bahkan bisa jatuh menjadi negara gagal.

Nah, kelompok mana yang diuntungkan kalau negara kita gagal?

Ya, gerombolan haus kekuasaan yang gak mungkin eksis dalam suasana normal. Mereka butuh kondisi chaos. Sebab hanya dengan suasana chaos lah mereka bisa berkuasa. Jadi, kalau gerombolan ini memprovokasi publik untuk tidak percaya vaksin, wajar. Semakin banyak orang mati. Semakin krisislah kita. Semakin besarlah peluang gerombolan ini untuk eksis.

Pemuka agama yang sampai saat ini masih teriak-teriak menolak vaksin. Mereka adalah racun dalam hidup kita di saat-saat ini. Kalau bukan karena ketololan mereka. Mungkin juga karena mereka punya agenda kekuasaan lain. Para politisi yang masih nyinyir mulutnya soal vaksinasi ini. Jangan pedulikan.

Sesungguhnya mereka gak benar-benar memikirkan rakyat. Mereka hanya badut konyol yang mencari keuntungan politik dari kebodohan masyarakat. Tapi karena ketololannya banyak juga rakyat ikut-ikutan menolak vaksin. Bahkan kemarin ada tagar menolak vaksin Sinovac.

Mungkin karena berasal dari China. Padahal Sinovac ini menggunakan dasar vaksin virus yang dilemahkan. Istilahnya inaktif. Model vaksin ini sudah biasa. Virus dilemahkan, lantas menjadi pancingan buat reaksi antibody. Berbeda dengan Pfizer misalnya yang menggunakan model rekayasa gen.

Metode rekayasa gen buat vaksin ini juga baru pertama digunakan. Karena Covid19 ini. Makanya dari sisi penyimpanan vaksin Pfizer agak lebih rumit dibanding Sinovac. Vaksin Pfizer butuh ruang penyimpanan bersuhu amat sangat dingin. Jauh di bawah titik beku. Sementara vaksin Sinovac bisa menggunakan alat penyimpanan biasa.

Soal protes segala yang berasal dari China kayaknya emang sudah lama dimainkan. Kalau soal ini kan menyangkut ideologi global. AS dan Eropa sebel sama China karena ekonominya tumbuh raksasa. Mereka berusaha menahan laju hegemoni China di seluruh dunia.

Nah, orang yang teriak-teriak di sini anti Sinovac ya, boneka-boneka kepentingan itu. Entah sadar atau tidak. Saya sih, mikirnya. Saat ini yang dibutuhkan Indonesia adalah vaksin yang efektif. Mau berasal dari mana, kalau secara ilmiah efektif hasilnya gak masalah.

Kita gak mau jadi negara yang dikucilkan dunia karena gagal vaksinasi. Saya gak bisa membayangkan jika dalam kondisi seperti ini, manajemen pemerintahan tidak dipimpin orang sekelas Jokowi.

Ia harus berhadapan dengan negara-negara lain memburu vaksin. Ia juga harus diribetin oleh kroco-kroco kelas kambing yang bercokol di dalam negeri. Kroco yang mulutnya melesat lebih cepat dari isi kepalanya.

Kita tidak bisa membiarkan Jokowi jalan sendiri. Memikul beban berat Covid19 di pundaknya. Sebagai rakyat, dukungan kita cukup satu: tetaplah menjadi orang yang rasional. Mereka yang menolak vaksin. Mereka yang membangun sentimen agama tapi gak peduli kesehatan.

Mereka yang jadi kepanjangtanganan pengasong agama. Tujuannya cuma satu : Indonesia jadi negara gagal.

Biarkan saja mereka sok, dengan gayanya. Mungkin mereka lebih berani menghadapi resiko Covid19. Mereka berani mati. Tapi gak punya cukup otak untuk berani hidup.

Seorang ibu bertanya kepada dokter: “Dokter, apakah keluarga saya semuanya harus divaksin? “

“Ohh, gak harus semua, bunda. Yang kira-kira ibu ingin dia hidup lebih lama aja,” jawab dokternya singkat.

“Mas, vaksin biar gak miskin ada gak?” tanya Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.