Kolom Eko Kuntadhi: KADRUN VS KUDA LUMPING

Medan, segerombolan orang menamakan Laskar Khusus Umat Islam menggeruduk warga. Masalahnya sederhana. Ketika warga mau menonton pertunjukan kuda lumping. Laskar FUI itu marah. Katanya tarian itu menyembah setan. Musyrik. Dosa besar. Dan ujungnya mereka meminta acara bubar. Warga marah. Beberapa wanita berjilbab yang tersinggung dengan perilaku barbar pada laskar itu melawan. Eh, dasar preman kelas teri medan, mereka malah meludahi warga. Kurang ajar, kan?

Siapa sih, yang gak tersinggung diludahi sama orang yang jarang sikat gigi?

Saya heran dengan kelakuan laskar model begini. Di mana-mana cirinya sama saja. Kalau gak minder biasanya over acting. Yang nyebelin, over actingnya selalu membawa-bawa agama. Otak laskar memang pendek. Ia gak bisa membedakan antara kesenian dan ibadah ritual. Wong, cuma nari kuda lumping, terus yang musyrik apanya?

Sampai sekarang gak ada juga Orang Indonesia yang menyembah kuda. Padahal, kesenian kuda lumping itu sudah ada sejak jaman dulu. Yang ada malah laskar-laskar jenis itu yang menyembah baliho. Saya lupa. Baliho yang disembah itu berisi foto kuda apa foto orang.

Inilah ngeheknya cara berfikir laskar ini. Wong cuma nari dengan kuda-kudaan saja, kenapa mereka menilainya sebagai bagian dari ibadah? Sehingga harus dianggap musyrik. Jangan-jangan kalau laskar itu main catur, mereka kalah terus.

Soalnya mereka gak mau makan kuda. Alasannya karena kudanya gak disembelih dengan mengucap nama Tuhan. Hukumnya haram makan kuda. Kayaknya laskar-laskar itu gak pernah langganan Netflix atau Disney Channel. Yang ditonton di rumah cuma sinetron azab doang sama akademi dangdut. Jadinya korslet, kan?

Tapi begini. Jika mau ditelusuri, mudahnya mereka memusyrik-musyrikan sebuah pertunjukan kesenian karena cara berfikir agama ala Wahabi takfiri. Masih inget kan, ada penceramah agama yang bilang lagu ‘Naik ke Puncak Gunung’, dianggap kristenisasi. Karena di kiri kanan gunung ada pohon cemara. Dan cemara sering digunakan sebagai hiasan Natal.

Lho, emang di gunung banyak pohon cemara atau pinus. Kalau banyak pohon Kamboja, itu sih, di kuburan. Cara beragama ala Wahabi ini salah satu cirinya adalah membenci kebudayaan. Mereka misalnya mengharamkan lukisan. Mereka mengharamkan patung. Mereka mengharamkan musik. Padahal kalau dengar dangdut, jempol kakinya ikut bergoyang juga.

Pemahaman Wahabiyah adalah bahan dasar sebagian umat Islam jadi beringas dan anti kebudayaan. Coba telaah ketika gerombolan ini menguasai satu daerah. Yang mereka lakukan adalah menghancurkan situs-situs kebudayaan yang ada di daerah itu.

Di Suriah, misalnya. Ada 900 situs dan artefak budaya berusia ribuan tahun diratakan dengan tanah. Begitu juga di Irak, Libya, Mali atau Afganistan. Alasannya sama kayak laskar di Medan itu, menimbulkan kemusyrikan.

Padahal situs-situs itu adalah data penting untuk mempelajari peradaban umat manusia. Tapi di tangan gerombolan tidak beradab, artefak kebudayaan itu dianggap sesembahan. Kan, tolol. UNESCO sampai harus membuat konferensi sendiri untuk membahas kelakuan kaum biadab ini. Para sejarawan menangis. Para arkeolog bersedih.

Wahabi memang pantas dijadikan musuh peradaban. Kenapa mereka selalu mengincar menghancurkan budaya dan sejarah sebuah wilayah. Sebab masyarakat yang dicerabut dari sejarahnya sendiri, akan kehilangan jati dirinya. Mereka akan menjadi sekelompok orang yang tidak lagi memiliki akar dengan tanah airnya.

Pencerabutan akar budaya dan sejarah ini akan memudahkan mereka lakukan ekspansi ideologis. Setelah berhasil dicabut dari akar budaya dan sejarahnya, lalu masyarakat akan disuntikkan pemahaman baru yang sama sekali berbeda.

Wajar saja jika kita lihat cara berpakaian kelompok ini. Seolah yang namanya pakaian islamis bagi lekaki mirip dengan pakaian suku-suku di Afganistan, dengan celana cingkrang dan baju panjang. Atau mirip dengan pakaian orang Arab, yang lelaki memakai baju seperti daster.

Sementara yang perempuan memakai cadar yang tidak memperlihatkan wajahnya sama sekali. Dengan warna hitam, seperti seragam ninja di Jepang. Padahal tidak memperlihatkan wajah dalam hubungan sosial di Indonesia itu dulu dikenal sebagai tindakan tidak sopan. Tapi standar ketidaksopanan itu disuntikan sebagai doktrin agama yang baru.

Masyarakat yang telah tercerabut akar budaya dan kehilangan makna sejarahnya akan hilang juga kebanggaan pada wilayahnya. Akan merosot cintanya pada Tanah Airnya. Dengan begitulah mereka berusaha menguasai sebuah wilayah.

Jadi, soal pelarangan kuda lumping di Medan itu, sebetulnya bukan sekadar ulah laskar tolol yang memamerkan isi kepalanya. Peristiwa itu adalah percikan kecil dari tujuan besar merusak Indonesia sebagai sebuah bangsa. Peristiwa jenis ini bukan baru sekali terjadi.

Di Purwakarta, kita pernah mendengar gerombolan laskar dengan isi kepala kopong juga berusaha merusak patung yang menghiasai sudut-sudut kota. Memang kita tidak bisa berharap banyak dari orang yang isi kepalanya kopong. Mereka menyangka sedang memperjuangkan agama. Padahal yang mereka lakukan hanya mendatangkan kerusakan.

“Mas, harusnya para Kadrun itu mikir. Di dunia ini gak ada mahluk yang kelaminnya di pinggul. Selain kuda lumping. Harganya dia bangga!,” ujar Abu Kumkum dengan nada sebel.

Kok, mendengar Abu Kumkum marah sama Kadrun, jidat gue malah mengerut. Kenapa harus lari ke kelamin, sih?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.