Kolom Daud Ginting: KAMPRET, CEBONG, DAN RIZIEQ

Kedua kosa kata Kampret dan Cebong kini sedang hits dipergunakan dalam media sosial. Tidak perlu mencari arti kedua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karena maknanya saat ini tidak sebagaimana yang tertera di kamus. Sudah bagaikan hukum tidak tertulis, tanpa disepakati penggunaan kedua kata itu umumnya dapat dimengerti penghuni jagat maya media sosial makna yang tersirat didalam kosa kata itu.

Cebong dipergunakan sebagai sebutan terhadap pendukung Jokowi dan Ahok dan, sebaliknya, Kampret sebagai sebutan kepada pembenci Jokowi dan Ahok.




Sudah barang tentu penggunaan kedua kosa kata itu berbentuk “Sarkasme”, mengejek dan ungkapan rasa benci satu sama lain. Julukan ini dilayangkan justru merendahkan martabat kedua belah pihak, seakan tidak ada lagi yang baik dan benar di dalam diri semua orang.

Begitulah ekspresi jiwa masyarakat dunia maya dewasa ini yang secara terang menderang nampak jiwa penuh unsur kebencian, lunturnya rasa persaudaraan dan tidak memiliki nilai-nilai penghargaan lagi terhadap sesamanya.

Sumber pertentangan itu diproduksi oleh sikap mendukung dan menolak konstentasi pemilihan pimpinannya sendiri. Pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden ternyata mampu membelah masyarakat menjadi beberapa kubu, dan efeknya sangat panjang untuk kembali harmonis. Perseteruan panjang antara kubu Cebong dan Kampret sudah berlangsung lama dan diperkirakan akan terus berlanjut sampai hajatan Pemilihan Presiden 2019.

Kebiasaan buruk yang berlangsung dengan baik ini merupakan potret buram perilaku publik dalam mendukung calon pemimpinnya. Memilih dominan karena faktor irasional, yaitu karena unsur suka tidak suka, antara pokoknya senang dan pokoknya benci, sehingga mengabaikan nilai-nilai keunggulan kinerja, program maupun kapabilitas seorang calon.

Itu semua dapat terjadi karena selama ini elit politik memang mempergunakan unsur ujaran kebencian dalam merebut simpati publik, dengan ucapan-ucapan mengagitasi saling membenci terakumulasi barisan pendukung militan semu. Ini merupakan fenomena buruk kehidupan demokrasi dewasa ini, karena pola dan perilaku dukungan yang diberikan mengabaikan unsur pendidikan mematangkan kehidupan politik.

Sikap benci ini akhirnya merampas kesudian publik berdialog secara rasional, kemampuan berpikir rasional dirampas oleh rasa dengki maupun benci. Tidak sudi menerima pendapat yang tidak membela faksi atau dukungannya, semua yang menentang menjadi musuh.




Munculnya kabar SP3 kasus hukum chatt mesum Rizieq tidak bisa diterima barisan pembenci. Kasus lain, kejadian Anis Baswedan disoraki ketika menghadiri open house lebaran Presiden Jokowi di Istana Bogor langsung dibela pendukung Anis dengan menyalahkan pendukung Jokowi. Semua lupa bahwa Djarot saat maju menjadi Calon Wakil Gubernur Jakarta pernah bukan hanya disoraki, bahkan sampai diusir dari sebuah mesjid.

Rasa benci berkarat tengah menimpa publik saat ini, alasan polisi yang mengatakan institusinya belum berhasil memperoleh siapa yang pertama sekali meng-upload foto dan chatt porno sebagai alasan hukum dikeluarkan SP3 tidak bisa begitu saja diterima karena memang sudah dominan unsur rasa benci serta permusuhan.

Persoalan selanjutnya menjadi pekerjaan rumah bukan masalah benar atau salah tindakan yang dilakukan, tetapi sejauh mana antisipasi yang akan dilakukan meminimalisir akumulasi rasa saling membenci dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa Rizieq Shihab selama ini justru sudah memiliki label sebagai salah seorang oknum paling getol menularkan ujaran kebencian itu. Rizieq Shihab diberikan SP3 atas kasus hukum dianggap bukan solusi terbaik karena kerangka berpikir publik bukan berdasarkan unsur jurudis tetapi karena tidak sudi menerima sikap dan tindakan Rizieq selama ini.

Seandainya benar Rizieq Shihab kembali ke Indonesia paska memperoleh SP3 semoga bisa sumber penyelesaian rasa saling membenci ini. Para elite politik yang sedang sibuk membangun koalisi menjelang kontestasi Pilpres 2019 kiranya sudi juga mengurungkan niatnya menjual keberadaan Rizieq Shihab sebagai komoditas politik sempit kepentingan pribadi dan kelompoknya.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.