Kolom M.U. Ginting: KEMBALILAH KE KEARIFAN LOKAL

 

kanegi
Kanegi br Ginting menampilkan Anjak-anjak Beru Ginting di sebuah mall di Medan karya Juara R. Ginting.

M.U. Ginting 2 Diskusi atau debat soal apakah anggota keluarga boleh atau tidak ikut dalam Pilkada merupakan tema yang sangat menarik dan juga sangat penting dalam perkembangan negeri kita beserta way of thinking kita dalam soal demokrasi.

Dua pikiran yang berkebalikan. Perjuangan dari segi-segi bertentangan dalam satu kesatuan, itulah DIALEKTIKA dalam proses perubahan dan perkembangan. Perjuangan atau kontradiksi (perjuangan dua segi) adalah tenaga penggerak perubahan dan perkembangan, berlaku juga di sini.

Satu seginya ialah adanya peraturan (UU) yang menghindari dinasti politik dalam kepemimpinan daerah dan di tiap Pilkada, Segi lainnya ialah kalau ada saudara atau keluarga dekat yang seharusnya patut dipilih jadi pemimpin, dia tak boleh karena larangan peraturan keluarga tadi.

Bahwa keluarga penguasa punya kelebihan extra (kekuasaan, duit, pengaruh, dll) untuk bersaing dengan yang lain tidaklah ada keraguan.  Ini memang sering dimanfaatkan di negeri seperti Indonesia, tetapi tidak berlaku di negeri maju di Eropah Barat karena dasar kulturnya yang sesuai demokrasi Barat terutama dalam hubungan kekeluargaan sangat berbeda.

Alasan utama Mahkamah Konstitusi ialah dari segi demokrasi (Barat). Semua berhak dipilih dan memilih. Ini prinsip dasar dalam demokrasi Barat. Yang kita belum dalami betul ialah apakah demokrasi Liberal Barat ini masih berlaku dan akan kita teruskan atau kita ganti dengan demokrasi negeri kita, atas dasar kultur dan budaya kita.

Kita sudah sering jargonkan ‘kearifan lokal’ termasuk bupati Karo Terkelin Berahmana dan juga walikota Medan Dzulmi Eldin sudah pernah menyatakan hal itu. Bahwa demokrasi dalam kearifan lokal dan demokrasi dalam sistem Liberal Barat adalah berlainan sama sekali, belum termasuk diskurs penting dalam percakapan politik negeri kita. Pada pokoknya pengertian apalagi penerapana ‘kearifan lokal’ masih ngambang saja. Tetapi sudah ada yang bertekad memprakktekkan seperti dua orang di atas. Konkretnya bagaimana?

Pertama idenya sudah ada. Prakteknya sudah banyak dilakukan oleh anak-anak muda dan mahasiswa kita dalam kenyataan. Ilmu ini akan kita perdalam dalam pengalaman praktek, dari buku tak mungkin, tak ada yang pernah menuliskannya. Buku peralihan dari demokrasi Liberal Barat ke demokrasi ‘kearifan lokal’ atau kalau saya berani katakan demokrasi etnis atau demokrasi suku. Nama etnis atau suku tak terhindarkan karena demokrasi ini (kearifan lokal) adalah atas dasar tradisi dan kultur tiap daerah. Indonesia hanya terdiri dari suku dan daerah.

Penerapan kearifan lokal inilah yang masih akan kita perdalam, sekarang masih dalam tingkat JARGON POLITIK bagi kebanyakan pemimpin kita. Cultural Revival negeri ini baru saja kita mulai. Perlu dicatat bahwa Suku Karo sudah jauh maju dalam soal ini.

bumi 4
Sanggar Seni Sirulo beraksi di atas panggung dengan gaya khasnya sendiri menengahkan seni pertunjukan Karo.

Kesederhanaan pemikiran MK atas dasar demokrasi Liberal Barat semata-mata, pasti akan bikin komplikasi, debat yang tak akan terselesaikan kalau tak menyentuh  PERSOALAN BESAR abad ini, hubungan erat tiap persoalan besar negara dengan kultur budaya daerah atau nation tertentu. Itulah juga bagian dari The Clash of Civilization Huntington atau The Clash of Emmotions Moisi.

Cukuplah sudah selama ratusan tahun kita dikelabui oleh demokrasi Liberal Barat peninggalan kolonial itu. Abad lalu kita alami sendiri dua demokrasi dunia; Demokrasi Barat Liberal dan Demokrasi Timur Sosialis. Tak ada satupun diantara yang dua ini ini asli demokrasi negeri kita. Dua demokrasi ini telah bikin perkelahian di negeri kita. Lebih dari 3 juta leher orang Indonesia disembelih karena mempertahankan Demokrasi Liberal Barat untuk menghancurkan Demokrasi Sosialis Timur. Pembantaian jutaan manusia ini juga terjadi di bagian lain dunia, dan bahkan sampai detik ini masih terus.

Krisis besar ekonomi di banyak negeri Eropah dan Yunani sekarang ini. tak lepas dari segi-segi negatif dari Demokrasi Liberal Barat yang dipaksakan ke Yunani yang dalam kenyataan punya way of thinking dan tradisi tua yang masih tetap berlaku di era modern juga, misalnya dalam soal pajak dan pembayaran pajak ke negara. Kita masih ingat juga bagaimana kita bayar pajak atau sistem pembayaran pajak tahun Kolonial dan tahun-tahun Kemerdekaan.

Bankir-bankir UE mengerti sifat orang-orang  Yunani ini. Mereka kasih pinjaman, uang dikorupsikan dan Yunani bankrut. Sekarang PM Tsipras coba jadi Yunani asli, patriotis dan nasionalis dengan ikatan leher yang semakin ketat karena utangnya. Semua partai-partai nasionalis yang sudah jadi partai-partai besar nomor 3 di Eropah mendukungnya karena sikapnya yang patriotis/ nasionalis  itu. PM Jerman sebagai wakil paling setia Demokrasi Barat alias bankir-bankir besar dengan tegas menolak penghapusan sebagian utang Yunani yang diajukan Tsipras.

Kepada Pak Tsipras dan kepada MK: Kembalilah ke KEARIFAN LOKAL





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.