KENANG-KENANGAN KEPENYAIRAN — Temu Sastra Indonesia – Malaysia (2015)

“Kirimi aku beberapa puisimu,” kata seorang teman. “Kalau bisa puisinya berhubungan dengan Budaya Nusantara atau lokal.” Tanpa banyak bertanya, kukirimi ia beberapa buah puisi. Seberapa memang sudah setengah jadi dan beberapa lagi yang masih muter-muter di kepala akhirnya bertemu bentuk di layar laptop.

Rupanya dua di antara puisi-puisi itu diikutsertakan dalam antologi puisi penyair Indonesia dan Malaysia.

Dan, rupanya pula aku terpilih sebagai salah seorang penyair Indonesia dalam Temu Sastra Indonesia-Malaysia (yang diselenggarakan di Kampung Pago dan Bandung pada tanggal 18-20 September 2015.

Wah, 18 September! Kebetulan, pikirku. Aku tiba di Indonesia 18 September—jadi bisa ikutan. Walau sudah iseng menerbitkan buku puisi sendiri dan beberapa kali puisiku diikutsertakan dalam buku-buku puisi lain, aku sendiri belum pernah menghadiri acara sastra dalam bentuk apa pun.

Hari pertama kuabaikan saja karena setelah perjalanan selama 19 jam dari Amsterdam ke Jakarta dan langsung ke Bandung, aku sudah seperti zombie yang sudah tak mampu berpikir. Acara hari ke dua diadakan di Fakultas Ilmu Budaya Unpad di Jatinangor: acara diskusi dengan pemakalah-pemakalah yang asik.

Antara lain Datuk Kemal Abdalah, Maman Mahayana dan dua orang lagi yang namanya aku lupa (nanti kalau ingat, kububuhkan lagi di catatan ini). Ruangan kuliah umum itu penuh dengan anak-anak muda—pastilah mahasiswa, pikirku. Banyak juga yang seumuran denganku … penyairkah? Entahlah. Aku tak tau seperti apa tampangnya penyair.

Di depan kulihat ada mas Eka Budianta. Di belakang kulihat ada mbak Ariany Isnamurti. Juga ada ada mas Bambang yang beberapa bulan lalu bertemu di Wakatobi. Dan, bang Heryus Saputro. Tingak-tinguk lagi, tak kukenal siapa pun. O, ada Tika—anakku ketemu gede—yang kini sedang S2 di Unpad juga.

Awalnya aku duduk di belakang—supaya bisa mengobrol, tapi lalu pindah ke depan supaya bisa mendengarkan. Sebetulnya makalah yang dipresentasikan teramat menarik. Sayangnya tak banyak yang bertanya. Hampir semua makalah menggunakan pendekatan kognitif dalam menilik sastra/puisi Indonesia, Malaysia dan Melayu.

Barangkali pendekatan itu agak terlalu mengawang-awang untuk sebagian besar publik yang merupakan pekerja sastra atawa penyair dan anak-anak muda yang baru mulai belajar menjadi ahli sastra. Seseorang mengacungkan tangan. Kukira akan bertanya. Ternyata ia memuji-muji para pemakalah. Wah …

Kupikir, inilah beda antara ahli sastra dan sastrawan. Bila sebuah karya sastra diibaratkan sebagai kolam, seorang ahli sastra akan berdiri di tepiannya. Ia akan mengukur panjang, lebar dan kedalaman kolam itu.

Ia akan mengambil sampel air, mencatat unsur-unsur di dalamnya dan menghitung jumlah serta jenis ikan yang berenang dan tanaman yang tumbuh di dalam dan di sekitar kolam itu. Itu ahli sastra.

Seorang sastrawan tidak akan berdiri saja di tepi kolam. Tanpa ragu-ragu, ia akan terjun dan menyelam ke dalam kolam itu. Ia akan membiarkan airnya membasahi tubuhnya—dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Ia akan menelan air kolam itu, membiarkannya menyeruak masuk lubang hidung dan kupingnya serta mengerjap-ngerjapkan air kolam di matanya.

Basah-kuyup, ia berenang, menyelam, meneguk air kolam dan setelah keluar, ia akan memimpikan kolam itu—siang dan malam. Seorang sastrawan tidak memikirkan sebuah karya sastra. Ia merasakan dan menjiwai karya sastra itu.

Seminar sastra itu berakhir menjelang makan siang. Aku agak bingung karena tak ada bebauan makanan sama sekali! Tak tampak pula sebutir nasi pun! Semua orang berdiri dan bubar. Ada yang foto-foto, ngobrol dan berdiri tingak-tinguk, lalu satu per satu, semua orang turun ke bawah (seminar itu di lantai 3. Wc-nya di lantai 2 dan tak ada lift. Hmmm …rupanya orang Unpad atletis semua!).

Di depan fakultas, aku ikutan bergerombol dan berfoto dengan beberapa orang: mengabadikan momen sejarah. Rupanya dua buah bus besar sudah tersedia untuk memboyong peserta ke Kampung Pago, tempat kami menginap.

Aku bingung lagi. Apakah seminar tidak dilanjutkan setelah makan? Apakah tidak ada makan siang? Seperti bebek kehilangan induk, aku ikut saja naik ke sebuah bus yang harum mewangi.

Bau nasi dan ayam dan sayur di dalam kotak-kotak kertas. Lapar membuatku melupakan seminar yang rupanya memang telah selesai. Sayangnya, ternyata masih ada beberapa makalah bagus yang tak sempat dibacakan dan didiskusikan (padahal sebetulnya, setidak-tidaknya aku, masih bersemangat untuk diajak memikirkan persamaan dan perbedaan di antara sastra Indonesia dan Malaysia).

Sayangnya pula, buku kumpulan makalah itu hanya dicetak terbatas.

Kampung Pago adalah penginapan asri yang terdapat di Ciwidey. Ciwidey rupanya adalah daerah yang letaknya auzubillah jauhnya dari Jatinangor dan Bandung. Setelah terkantuk-kantuk sejam lebih, kami sampai.

Kamarku belum ada. Bingung lagi. Untung ada kopi. Jetlag mulai melanda lagi dan secangkir kopi tubruk tidak kuasa menahan kantuk yang menyerang. Untung setelah kopiku habis, kamarku pun siap.

Malam itu, bulan bersinar di atas Ciwidey. Di dekat ruang makan, aku duduk bersama seorang lelaki santun bernama Yonathan. Ia dokter hewan. Ia penyair. Dan, ia novelis. Lalu, Uda Syarifudin dari Padang bergabung; juga beberapa lelaki lain. Semua ngudud. Aku juga.

Ah, rupanya aku satu-satunya perempuan di Temu Sastra ini yang tidak berjilbab dan ngudud. Inilah aku. Take it or leave it.

Setelah makan, tibalah acara yang ditunggu-tunggu. Pembacaan puisi. Seorang anak muda bernama Dimas mendatangi di meja bundar tempatku duduk bersama mas Kurnia Effendi. “Bunda,” katanya. “Saya minta izin membacakan salah sebuah puisi Bunda.”

“Puisiku?” aku bingung lagi. Ngapain dia mau baca puisiku? Dan puisi yang mana? Aku lupa puisi mana yang kukirimkan untuk antologi ini.

“Maisumai,” katanya. “Saya suka puisi itu.”

Maisumai adalah nama mahluk halus di daerah Sumatera Selatan. Ia adalah perempuan berambut panjang yang awalnya tampak cantik dan bersuara lembut , tetapi akhirnya menjelma menjadi sosok menakutkan dengan rambut awut-awutan, bertaring panjang dengan suara mencekam yang senang menculik anak-anak kecil yang masih saja mau main di luar rumah setelah lewat Magrib.

Untunglah ketika kecil, aku selalu pulang tepat waktu sehingga tak pernah bertemu dengan Maisumai, tetapi bayang-bayangnya masih saja terkadang seolah melintas di balik pepohonan bila matahari mulai condong ke Barat. Karena itu, jadilah puisi tentang Maisumai.

Aku mengangguk saja mengiyakan permintaan Dimas Indiana Senja.

Satu per satu para penyair itu maju dan membacakan puisi. Aku juga. Nah, di sinilah juga barangkali letak inti kepenyairan seseorang. Aku membacakan dua buah puisi yang kuPIKIR menarik. Itulah intinya. Aku membaca. Aku berpikir. Aku memikirkan kata-kata itu, mencerna gagasannya dan membacakan kata-kata itu.

Nalar membuatku serius dan suaraku menjadi datar. Kacamata plus menambah ketidakpenyairan sosokku dan pembacaan puisi-puisi itu. Ketika duduk lagi, aku masih puas batin dengan gagasan dan imaji kedua puisi tadi, tapi ada sesuatu yang rasanya tak lengkap. Sayur asem tanpa asem. Laut tanpa garam. Pantai tanpa kesiur angin di ujung dedaunan kelapa.

Tiba-tiba suara Dimas membuatku terlompat.

“PULANGLAH!” teriaknya. Suaranya menggelegar.

“PULANGLAH!” teriaknya lagi. “PULANG SEBELUM LARUUUT! PULANGLAH!!! PULANG SEBELUM BULAN TERTUTUP KABUT!”

Lalu dengan suara yang mendadak lembut, ia menyambung dengan bait pertama.

“sisa azan berkumandang tergantung sejenak di bawah awan mengalun, melayang-layang lalu hilang di tikungan jalan”

Oooo … ya ampyun! Rupanya ia membacakan puisiku!! Ia tidak hanya membaca kata-kata dan ceritaku. Dimas rupanya masuk ke dalam pikiran dan khayalanku tentang Maisumai!

Tiba-tiba aku teringat pada temanku Nai Sinaga dari Lampung yang pernah membaca puisiku ‘Temani aku malam ini’ (dalam ‘Pangeran Katak dan Sang Puteri, 2011) tentang sop buntut. Suaranya yang serak-serak basah membuat isap-mengisap daging dan tulang di sop buntutku menjadi sexy dan menyesakkan nafas.

Pun pada waktu itu, Nai tidak hanya membaca. Ia sekalian terjun dan berbasah-basah menggelimangkan diri di dalam sop buntut yang kuhidangkan.

Semakin malam, tampaknya jiwa-jiwa terkerangkeng para penyair yang berkumpul di Kampung Pago semakin lepas. Yonathan, sang dokter hewan dan novelis yang tadi serius tiba-tiba lupa diri. Aku tak tahu lagi puisinya yang mana yang dibacakannya dan tak pula tahu apa yang dibacakannya.

Aku tak dapat berkedip menontonnya membaca puisi! Penyair-penyair lain pun begitu. Tiba-tiba seorang penyair dari Ambon (?) meminta musik yang agak jazzy dari pemain organ tunggal di atas panggung. Ia menyanyikan puisinya! Bagus pula suaranya! Entah apa yang dibacakannya, tapi aku suka musikalisasi ini.

Aku tercengang dan terkagum-kagum pada mereka yang begitu berani menanggalkan jubah kesehariannya sebagai dokter hewan, dosen, mahasiswa, ibu atau bapak untuk melompat, berjingkrak-jingkrak, mendesah, mengerang sambil meliuk-liukkan badan seperti orang yang kesakitan dan merintih-rintih minta dikasihani lalu berteriak marah dengan muka merah yang tiba-tiba tersenyum sambil mengangguk santun ketika kata terakhir puisi yang dibacakan telah menggema di dalam ruangan.

Bukan main. Barangkali ada dua macam penyair. Ada penyair jadi-jadian seperti aku yang menuliskan pikiran dan perasaannya untuk dibaca diam-diam di dalam hati. Dan, ada pula penyair-penyair hebat—kupikir penyair sungguhan—yang mengolah rasa menjadi kata untuk dijiwai dengan suara, gerak, mimik dan isyarat.

Apakah yang terakhir itu merupakan evolusi dan bentuk perkembangan dari kepenyairan seseorang? Entahlah. Yang jelas, rasanya aku takkan pernah mampu menjadi penyair seperti itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.