Kolom Juara R. Ginting: DATA DAN INFORMASI — Kentut Solusi di Pilkada Karo 2020 (Bagian 2)

Uraian saya mengenai jaringan perdagangan cabe merupakan sebuah fokus yang bisa dijadikan model atau contoh dari perdagangan komoditi lainnya dari Dataran Tinggi Karo. Model ini mengingatkan ke mana saja mengalirnya komoditi Karo Gugung dan sumber-sumber komoditi sejenis yang mana saja bisa mempengaruhi harga komoditi asal Karo itu.

Agar kalimat-kalimat saya di atas bisa lebih jelas, saya sebut saja sumber-sumber cabe dari Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Barat.

Musim panen cabe di sana akan menurunkan harga cabe asal Karo. Sebaliknya, cabe asal Dataran Tinggi Karo mengalir ke Binjai, Langkat, Medan, Siantar, Kisaran, Rantau Prapat, Pekanbaru, Batam, dan Jakarta.

Dalam berita Kahe Kolu yang ditulis oleh Elisabeth Barus [Sabtu 3/10], ternyata para pedagang antara (verkoper) berhasil mengalirkan komoditi cabe dari Karo Gugung ke Padang untuk mengurangi banjir cabe ke Medan sehingga harga cabe di Medan melambung dari Rp. 30 – 32 ribu/ kg ke Rp. 38 – 40 ribu/ kg.

Pengalihan aliran ke Padang ini menarik. Selama ini tidak ada aliran sayur apapun ke Padang karena Padang (baca Sumbar) adalah salah satu asal sayur mayur. Bahkan Tebingtinggi yang begitu dekatnya dengan Dataran Tinggi Karo memasok sayur mayurnya dari Padang.

Itu membuktikan para pedagang sayur Karo sangat tahu liku-liku perdagangan sayur (dalam hal ini cabe) sehingga mereka cepat menemukan solusi atas tiba-tiba anjloknya harga cabe 2 hari sebelumnya. Keberhasilan mereka “menetralisir” harga ini sama sekali tidak ada campur tangan pemerintah di tingkat manapun.

“Cukup dengan melirik dari jalan, warga desa Karo bisa meniru orang-orang Belanda bertani,” tulis Botje dalam sebuah artikel tipis.

Tidak mengherankan pula tak lama kemudian terjadi over produksi sayur mayur dari Dataran Tinggi Karo sehingga Pemerintah Kolonial berusaha menembus pasar Malaysia.

Mereka mengembangkan sayu mayur asal Belanda (seperti buncis, kol, prei, arcis, tomat, cabe merah, dan banyak lainnya) di Karo pada awalnya hanya untuk kebutuhan orang-orang Belanda di perkebunan Sumatera Timur dan Kota Medan.

Tapi, adakah para petani Karo menyadari kalau Taneh Karo Simalem itu sudah capek karena dipaksa terus berproduksi? Seperti piawainya orang-orang Karo meracik obat tradisional (tawar, kuning, minak, sembur, inemen, pupuk), para petani Karo juga piawai meracik pupuk pertanian dan obat-obat kimia sampai-sampai Taneh Karo Simalem itu hampir tidak memungkinkan lagi untuk diolah menjadi lahan pertanian.

Apakah para Paslon Bupati/ Wakil Bupati Karo juga menyadari hal ini?

Kalau mereka menyadarinya, beranikah mereka membeberkan masalah ini dan menegaskan langkah apa yang diambilnya untuk menyelamatkan Taneh Karo dan warganya tidak hanya untuk 5 tahun ke depan? (kalau terpilih jadi Bupati/ Wakil Bupati Karo).

Saya tidak sedang menantang para Paslon, saya sedang mengingatkan warga pemilih di Kabupaten Karo untuk tidak menuntut kandidat dengan janji-janji.

Masa kampanye adalah masa para kandidat ngue-ngue semua permintaan calon pemilihnya. Makanya, jangan hanya menuntut solusi, tapi ujilah siapa diantara mereka yang memahami masalah.

Bukan hanya mengatakan “kusayang-sayangi kam pagi”. Lenga lit suratna e, me kin😀

BERSAMBUNG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.