Kolom Eko Kuntadhi: KETIKA SI MISKIN MENSUBSIDI YANG MAMPU — Iuran BPJS naik?

Buat masyarakat miskin yang iurannya ditanggung pemerintah, kenaikan itu gak ada rasanya. Dulu, sesuai dengan Perpres No.82/2018, iuran mereka hanya Rp 25 ribu. Sekarang iurannya naik jadi Rp 42 ribu. Tapi kan, dibayarin pemerintah. Mau berapapun, ya gak terasalah. Berapa peserta BPJS yang iurannya ditanggung pemerintah?

Jumlahnya 134 juta orang. Setiap tahun pemerintan membayar premi buat masyarakat miskin Rp 67,536 triliun ke BPJS.

Jika penduduk Indonesia ada 269 juta, setidaknya pemerintah membayar lebih dari 50% premi asuransi buat rakyat Indonesia.

Iya, lebih dari 50%!

Dalam catatan, jumlah duit yang dibayarin pemerintah ke BPJS ini, dibandingkan dengan klaim masyarakat untuk pengobatan. Masih surplus. Jadi orang iuran orang-orang miskin ini masih ada lebihnya.

Selain penduduk miskin yang dibayarin pemerintah, ada juga peserta BPJS kantoran. Mereka dikutip sekitar 5% dari total gaji, dengan maksimal gaji Rp 8jutaan. Dari 5% itu, hanya 1% saja yang ditanggung peserta sendiri. Sisanya dibayarin kantor.

Artinya, kalau gajinya Rp 8 juta, dia hanya membayar BPJS dari duitnya sendiri cuma Rp 80 ribuan.

Biasanya orang kantoran jarang menggunakan BPJS kalau sakit. Ada yang kantornya punya asuransi kesehatan lain. Ada juga yang memilih bayar sendiri ketimbang ribet ngurusnya.

Jadi, antara pembayaran premi dan klaim, BPJS masih asyik-asyik aja.

Ada satu lagi model peserta yang disebut peserta mandiri. Gue termasuk di sini. Peserta mandiri ini yang tidak digolongkan miskin. Mereka dianggap mampu untuk membayar sendiri klaim asuransi. Toh, buat dia-dia juga.

Nah, jenis peserta ini yang merasakan kenaikan BPJS. Yang tadinya untuk kelas I hanya Rp 80 ribu, kini berdasarkan Kepres No 64/2020 naik menjadi Rp150 ribu sebulan. Kelas dua dari Rp 51 ribu, naik menjadi Rp 100 ribu. Dan kelas III, dari Rp 25 ribu naik menjadi Rp 42 ribu.

Kalau kita pelajari dan membaca laporan keuangan BPJS, justru untuk ketagori pasien jenis inilah BPJS nombok luar biasa. Sebab jumlah premi yang dibayarkan dengan klaim rumah sakit, selisihnya ampun-ampunan.

Apalagi ada kebiasaan, setelah dirawat di RS yang biayanya gila-gilaan, mereka gak mau lagi bayar premi. Ada juga yang baru daftar menjelang masuk rumah sakit. Padahal dirawatnya di kelas I atau II.

Akibatnya BPJS kesulitan keuangan untuk membayar tagihan dari rumah sakit. Akibat yang paling nyata, RS akan males mengurusi pasien BPJS. Apalagi RS swasta.

Persoalan defisit BPJS ini berbentuk struktural. Gak bisa diselesaikan dengan efisiensi. Masalahnya karena pendapatan premi dan klaim, lebih besar klaim.

Ini menariknya. Di seluruh dunia, yang namanya sistem jaminan kesehatan sosial itu adalah orang kaya dan mampu membayar lebih untuk mensubsidi orang miskin. Tapi di Indonesia kebalik. Orang miskin yang dibayari pemerintah itu, yang malah mensubsidi pengobatan orang-orang kaya peserta BPJS mandiri.

Dalam kondisi begini, cuma ada dua kemungkinan. Pertama, BPJS dibubarin. Karena gak mungkin bertahan kalau defisit terus menerus. Akibatnya 50% lebih masyarakat miskin akan kembali mengais-ngais ketika ada keluarganya yang masuk rumah sakit.

Atau bahkan mereka yang tadinya cukupan, jadi msikin tiba-tiba hanya karena ada keluarganya yang sakit keras.

Yang ke dua, defisitnya ditutup. Caranya ya, dengan menaikkan biaya premi.

Langkah ke dua itu yang diambil pemerintah. Sistem jaminan kesehatan gak mungkin ditutup lagi. Di tengah pendemi dan resiko kena penyakit makin tinggi, justru kehadiran lembaga seperti BPJS makin diperlukan.

Sebetulnya dalam perhitungan asuransi, ketika resiko meningkat, preminya juga akan lebih mahal. Asuransi selalu bermain dengan perhitungan manajemen resiko.

Nah, di jaman pendemi ini, otomatis resiko kesehatan meningkat. Tapi, ketika premi kesehatan mau naik, banyak yang protes. Kenapa protes? Karena mereka mau terus menerus disubsidi atas nama orang-orang miskin, tanpa mau dicap miskin.

Padahal kan, jika premi naik dan di luar jangkauan kantong kita, tinggal urus turun kelas aja. Dari kelas I ke kelas II, atau ke kelas III sekalian. Toh, layanan pengobatannya sama. Hanya ruang perawatannya saja yang berbeda. Atau jika gak sanggup bayar, tinggal minta saja surat miskin. BPJS-nya akan dibayari pemerintah. Beres.

Masa, sih, hanya karena kita gengsi gak mau turun kelas, tetapi mendorong BPJS bangkrut karena defisit terus menerus? Masa sih, kita tetap mau dapat layanan Kelas I, tetapi dibiayai dari subsidi orang-orang miskin? Apa gak malu?

Memang sih, yang namanya kenaikan, tetap aja gak enak. Apapun alasannya. Kalau bisa sih, semua fasilitas yang kita nikmati, gak perlu bayar. Gratis. Kayak di surga!

“Mas, kalau mau diruqyah, bisa bayar pakai BPJS gak sih?” tanya Abu Kumkum.

Mbuh!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.