Kolom Acha Wahyudi: BERPIKIR BEBAS

Di sekolah saat usiaku baru 8 tahun, aku mulai mempertanyakan banyak hal saat kelas pelajaran agama; tentang Kiamat, Nabi Nuh dkk, mengapa begini, mengapa begitu Pak? Hasilnya beberapa kali aku dikeluarkan dari kelas oleh guru agama berumur sekitar 40 tahun. Entah sudah menikah atau single, yang pacaran dengan guru PMP, single yang telah bercerai. Artinya, guru agama ini abangan seperti kebanyakan muslim Indonesia.

Bukan seorang radikalis yang ga menganut istilah pacaran.

Namun tetap tidak suka saat ada murid kritis yang mempertanyakan ketentuan dalam agama. Walau aku ini selalu membuat orangtuaku kewalahan, dan menganggapku bandel karena suka terlambat sholat misalnya, namun aku masih tetap berusaha melaksanakan semua ritual sembari mencari jawaban dan terus berpikir, “Ah masa iya sih, ajaran Tuhan sebegitu absurd, seringkali seram dan paradox?”

Klaim bahwa Tuhan itu sosok maha pengasih dengan ngiming-imingi Surga, tapi juga menciptakan iblis dan memerintahkannya untuk menggoda manusia. Saat manusia tergoda maka Neraka menyala menanti, selanjutnya berbekal sifat penyayangnya, Tuhan satu ini tak sungkan menyiksa manusia abadi~selamanya di sana.

Namun, hal yang paling membuatku mengharu biru adalah posisi wanita. Wanita diangkat derajatnya dengan cara dimarginalkan! Haknya hanya setengah, dan harus tunduk di bawah lelaki, juga harus rela bahkan gembira untuk dipoligini. Hanya kebagian ⅛ dari hak waris (inipun ada beberapa ketentuan berbeda yang membingungkan).

Wajib menutup aurat demi menjaga syahwat lelaki. Wanita dapat dijadikan rampasan perang, boleh digauli tanpa perlu dinikahi. Perang, penggal kafir, rajam penzina dst. Sejak masih unyu-unyu, berbagai pengajian aku ikuti, dari yang konservatif, moderat sampai pengajian keras.

Pernah satu pengajian dengan Bachtiar Nasir, ustadz epic yang mempromosikan manfaat minum urine unta. Ku berbesar hati mengikuti pengajian, agar aku bisa tetap menjadi Apologist, seperti QS yang bersusah payah belajar ke Mesir dan sungguh-sungguh untuk membuat tafsir-tafsir demi melembutkan ayat-ayat keras. Atau memproduksi jawaban such as, yuk kita lihat Asbabun Nuzulnya!

Oh, di masa itu umat Islam dalam kondisi terzolimi dst. Aah.. Itu kan hanya metafora, Tuhan mungkin saja penyair yang suka berkalam penuh kiasan. Atau perintah dalam ayat-ayat perangnya, “Penggallah! Para apologist mengatakan kamu tidak bisa mengartikan secara harfiah, arti sebenarnya bukan penggal, namun Pukullah leher Yahudi, Nasrani dan para kafir itu.

Sementara ISIS – Bad Moslem, juga Arab Saudi, katakanlah mewakili Good Moslem, para Native Speaker atau penutur asli bahasa Arab, sama-sama memenggal kepala manusia yang dianggap Kafir, juga para Apostates.

Atau pada kasus Ahok, para Apologist Islam baik hati- pembela Ahok, berusaha membuat pelemahan dan pelembutan ayat Almaidah 51-52. Bahwa yang dimaksud Aulia itu bukan hanya pemimpin, melainkan kekasih, sahabat, atau pelayan. Jadi, intinya, seorang muslim itu diharamkan untuk memilih Aulia (pemimpin, kekasih, sahabat, atau pun pelayan setia) dari golongan Yahudi, Nasrani dan para kafir.

Lha, piye toh.. Maksud hati mau melembutkan koq malah jadi tambah antihumanis? Jadi muslim bukan hanya tidak boleh memilih pemimpin namun juga tidak boleh bersahabat, mempunyai kekasih dan pelayan setia dari golongan Yahudi, Nasrani dan Kafir.

Flash back ke sekitar tahun 2003 saat usiaku 28 tahun, jauh sebelum polarisasi politik akibat politisasi agama, akhirnya aku merasa lelah menjadi seorang apologist. Mulailah aku memasuki masa terang kemerdekaan berpikir dan bersikap, tidak peduli apakah aku masih satu golongan dengan kamu atau mereka, aku berhikmat menelusuri jalan terjal berliku dalam sepi, sampai kutemukan kini……. tiada lagi ku sendiri.

Matur suksme…I love you sahabat-sahabat Freethinker.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.