Kolom Ahmad Fauzi: SURGA SEKSUAL DAN NIRVANA

Dalam pandangan Al Quran, digambarkan surga yang kelak dihuni oleh orang-orang yang telah berjihad di jalan Allah berwujud kenikmatan fisik-inderawi, seperti sungai yang mengalir, madu nan jernih, bidadari cantik dan sejenisnya.

Hal ini kemudian diterima secara tekstual oleh penganutnya hingga kini. Setiap usaha kita dalam berbuat baik dan berkeutamaan akan dibalas oleh Allah dengan pahala kenikmatan. Hadis-hadis bahkan memperjelas kenikmatan tersebut diantaranya dalam bentuk kepuasan dan tenaga seksual tak terkira, seolah ganti bagi kekeringan dan kepayahan dalam mengekang naluri adalah kenikmatan seks tak terbatas.

Perlu dipahami, dalam perkembangan Islam berikutnya ada yang disebut Jalur Sufi. Yaitu, dinamika keberagamaan yang menekankan sisi bathiniah dan spiritual untuk mengimbangi dimensi Syariat Fisik yang kaku dan formal. Dalam Jalan Sufi yang berusaha mengembangkan potensi rohaniah, para pelakunya memahami bahwa kebaikan dan keutamaan tidak layak diganjar dengan kenikmatan inderawi seperti seks rendahan.

Bagi mereka, yang rohani jauh lebih agung dan sublim dan lepas dari nafsu hewani. Apakah kita menolong orang dan berbuat keadilan berharap dibalas dengan kenikmatan seks? Sungguh pikiran ini sangat menghina keutamaan dan spiritualisme manusia.

Para Sufi seperti Rabiah Al Adawiyah adalah wanita asketis yang menolak pernikahan dan kenikmatan fisik demi menggapai perasaan kesamuderaan cinta akan yang spiritual dan rohaniah. Mereka betbuat baik dan menjalankan keadilan demi cinta itu sendiri tanpa mengharapkan balasan kenikmatan seks dan inderawi. Freud menyebut deseksualisasi demi yang sublim.

Paham Sufi dalam Islam ternyata oleh Islam Wahabi dianggap sesat karena Sufisme sejak awal semisal menurut Nicholson ternyata mendapat pengaruh eksternal dari Buddhisme. Sufisme memang berhutang banyak terhadap ajaran Nirvana tentang padamnya api naluri dan nafsu. Wahabi adalah mazhab gerakan Islam yang menolak sufisme sebagai ajaran asing yang tidak sesuai dengan Al Quran.

Hal tersebut tidaklah mengherankan. Wahabi sangat formal dan tekstual, sehingga terlalu menekankan Syariat yang kaku sehingga kurang rohaniah dan spiritual. Jadilah hingga kini, paham Wahabi yang di Indonesia dekat dengan PKS dan HTI, Hidayatullah dan Salafi sering memahami kebangkitan akhirat penuh dengan balasan pahala dan kenikmatan fisik-inderawi semata. Mereka menolak spiritual dan keutamaan jiwa karena tidak sesuai dengan teks Al Quran dan Sunnah.

Paham Sufi yang menekankan keutamaan jiwa dan cinta sebagai pencapaian rohaniah ternyata merasuk dalam NU. Islam masuk pertama kali ke Nusantara menurut sebagian sejarahwan, melalui para pedagang dan nelayan yang berpaham tasawuf sehingga lebih rohaniah, spiritual dan mudah merasuk ke jiwa Nusantara.

Sampai sekarang, dampak paham Syariat Formal dan Fisik yang menekankan kenikmatan inderawi dan seks sebagai balasan bagi orang beriman yang berbuat baik dan berkeutamaan yang diwakili Wahabi tidak pernah akur dengan jalan Sufi yang menekankan keutamaan jiwa dan pencapaian rohaniah sebagai alasan berbuat baik dan berkeutamaan. Yang terakhir ini menjadi roh NU Nusantara.

Wahabi akhirnya menjadi penggila pahala kenikmatan inderawi dan seks. Manifesto para teroris dan radikalis. Sedangkan NU yang terasuki semangat Jalan Sufi menjadi harapan kemanusiaan bahwa kita berbuat baik itu tidak perlu mengharapkan balasan kenikmatan seks yang justru merendahkan keutamaan jiwa. Pencapaian rohaniah adalah keutamaan itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.