Kolom Andi Safiah: ANGAN-ANGAN KOLEKTIF — Di Mana Toleransi?

Kita marah ketika angan-angan kolektif kita diganggu atau bahkan dipertanyakan. Padahal, angan-angan kolektif tersebut beredar dalam ruang “ghaib” atau dalam bahasa umatnya ruang abstract. Mengapa kita marah?Kita marah karena ada elements “kolektifnya”. Kalau angan-angan yang sifatnya personal dan masih minimalis biasanya kita bisa bersikap acuh tak acuh atau paling minimalis bersabar.

Dari sanalah konsep “Mayor” “Minor” mulai beredar dalam ruang-ruang dialektika publik.

Mereka yang angan-angannya sudah berstatus kolektif tampil dengan gaya “arogan” sementara yang masih berstatus “minor” tampil dengan gaya super hati-hati agar tidak menyinggung angan-angan kolektif mayor. Itulah mengapa ada toleransi di sana.

Harusnya yang bertoleransi bukannya mayor atau minor, tapi manusia-manusia yang otaknya sadar bahwa perbedaan itu sudah menjadi realitas obyektif yang ditawarkan oleh alam semesta. Keragaman adalah hasil kerja-kerja otak manusia yang juga beragam, bukan seragam.

Jepang, misalkan, menawarkan sikap mental yang ulet, pekerja keras dan jujur kepada dunia. Tidak heran jika negara seperti Jepang sering kali mendapat julukan negara pekerja keras disiplin, ulet dan jujur, juga bersih. Terutama dalam urusan-urusan korupsi.

Sementara di belahan dunia lain koruptornya bisa tampil cengar-cengir di hadapan kamera.

Inilah perbedaan mentalitas serius antara koruptor negara Jepang dan koruptor sebut saja negara seperti Indonesia. Angan-angan kolektif yang beredar dalam kesadaran masyarakat Jepang bahwa korupsi adalah sikap mental yang sangat tidak terpuji. Siapapun pelakunya akan sadar secara cepat mereka telah melanggar sebuah kode kuno yang dipercaya oleh negara Jepang.

Kalau di sini jelas beda lagi.

Korupsi sudah menjadi angan-angan kolektif yang terbukti melahirkan begitu banyak koruptor di hampir semua lini kehidupan. Mulai dari tukang parkir hingga tukang bikin undang-undang di gedung rakyat. Korupsi sudah menjadi semacam angan-angan kolektif untuk alasan-alasan yang sangat pragmatis biar bisa hidup.

Padahal mati justru menjanjikan sesuatu yang luar biasa nikmat. Itu juga eksis dalam angan-angan kolektif bangsa ini. Jepang tentu saja memilih menginstall sesuatu yang bernilai tinggi dalam angan-angan kolektif bangsanya.

Sementara kita memilih menginstall sampah dalam angan-angan kolektif bangsa kita. Hasilnya tentu saja berbeda. Saya menghayal kita bisa belajar dari negara seperti Jepang, bukan dari negara yang mentalnya rusak bahkan ketika masih di alam Ghaib.

#tetapsemangat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.