Kolom Andi Safiah: HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR

Andi SafiahBagaimana Korea Selatan mengurus para koruptor di negaranya dan, kemudian, mem bandingkannya dengan cara bangsa Indonesia dalam mengurus koruptornya? Pelaku korupsi di Korea Selatan dihukum dengan penjara maksimal dan dikucilkan dari masyarakat serta keluarga.\

Hukuman sosial di Korea Selatan memang sering kali lebih berat dari pada hukuman legal yang dijatuhkan oleh negara.

Contoh, mantan Presiden Korea Selatan (Roh Moo Hyun) yang tersangkut kasus korupsi. Karena tak tahan dengan rasa malu, Roh akhirnya bunuh diri dengan melompat dari atas bukit. Sikap mental seperti ini jelas tidak terjadi di negara ‘bertuhan’ macam Indonesia.

Mungkin anda bingung mengapa setelah berdirinya KPK sejak tahun 2002, berita korupsi sama seringnya dengan jadwal tayang sinetron murahan di TV. Bagaimana tidak? Hukuman bagi para koruptor terkesan bercanda, karena banyak faktor dan alasan di belakangnya. Hukuman maksimal bagi koruptor 20 tahun penjara, itupun hanya ada di atas kertas, faktanya berbeda.

korupsi 3

Bahkan banyak kasus korupsi hanya didakwa 2 atau 3 tahun. Itu belum seberapa. Atas nama kelakuan baik dan berbagai remisi demi remisi yang didapatkan, hukuman yang tadinya 15 tahun bisa berakhir hanya 4 tahun.

Di penjara belum tentu juga hidupnya menderita. Coba tengok Gayus Tambunan yang,0 meski dipenjara, masih bisa pelesiran. Atau mantan Ketua DPR RI dari Golkar (Setya Novanto) yang ditahan di hotel bintang 5. Padahal dalam penjara. Kenyataan seperti ini yang membuat saya dan banyak kawan seperjuangan mencoba menghidupkan kembali wacana hukum mati bagi para koruptor.

Ide hukuman mati bukan tanpa alasan. Pertama, bagi saya korupsi adalah kejahatan atas kemanusiaan. Bagaimana mungkin kejahatan atas kemanusiaan didekati dengan cara-cara yang manusiawi. Bukankah itu menggugurkan sifat kejahatannya?

Pada titik ini perdebatan apakah koruptor layak dihukum mati atau malah dihukum dengan gaya manusiawi menjadi wacana yang perlu kita bicarakan secara serius, Bukankah berbeda itu bagus dalam demokrasi? Dan, yang terpenting, bagaimana kita sama-sama mencari jalan keluar atas kasus korupsi yang memang sudah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.

Secara mental kita jelas bukan Korea Selatan atau negara Jepang yang masih punya tradisi malu. Kemaluan kita sudah minggat sejak umat semakin banyak yang beriman dari pada berpikir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.