Kolom Andi Safiah: KEBEBASAN

Anda percaya bahwa kelak ada yang namanya hidup sesudah mati. Sementara saya percaya bahwa apa yang disebut hidup adalah “saat ini” dan apa yang disebut “mati” adalah ketika organ tubuh kita berhenti berfungsi secara biologis. Anda bebas menyatakan pikiran dan sikap menurut hati nurani anda, sementara saya juga bebas menyatakan pikiran dan sikap saya.

Menurut hati nurani saya. Itulah kebebasan dan kebebasan itu secara sengaja ditulis dalam kitab UUD 45 pasal 28E poin ke dua.

Artinya, jika standar hati nurani anda berbeda dengan standar hati nurani saya, maka jalan terbaik yang disediakan oleh peradaban manusia adalah “berdialog” seperti yang pernah di contohkan oleh seorang Plato dalam The Republic, The Apology, Crito Phaedo, Ion, Meno, atau Simposium.

Lewat dialog kita bisa berbicara dari hati ke hati, mengurai kepercayaan lewat bahasa-bahasa yang indah. Bahkan sesekali mungkin kita bisa mengumpat untuk alasan yang tidak kita pahami. Percaya, memang melibatkan emosi yang jauh tenggelam dalam ketidaktahuan.

Apalagi emosi tersebut bercampur rasa “solidaritas” di atas angka matematis yang fantastik.

Kadang kita lupa bahwa kebenaran itu berstatus “uncertain” alias tidak pasti. Bisa jadi murni kita salah memilih karena terbatasnya akses atas realitas obyektif. Atau bisa jadi karena kita hidup dalam realitas yang penuh dengan angan-angan palsu yang dimantrakan hampir setiap saat.

Kita tidak sadar bahwa hati nurani kita tersandera dalam sebuah drama yang memang secara sengaja difabrikasi oleh lingkungan sosial di mana kita hidup. Tapi jangan lupa, selalu ada ruang semacam “black hole” untuk membersihkan kepercayaan kita yang mungkin sudah usang.

Semacam bintang yang kehabisan bahan bakar lalu meledak dan menjadi supernova.

Kehidupan dengan perspective baru biasanya memang lahir dari sana. Sebagai manusia yang katanya punya nurani tentu saja bisa memulai melihat kenyataan dalam perspective baru. Karena itulah salah satu alasan mengapa konsep kebebasan ditanamkan dalam benak kita.

Kita punya hak bebas untuk menentukan ke mana pikiran ini diarahkan. Tentu saja dengan melibatkan segenap kesadaran yang kita bisa dan sekali lagi berbeda dalam mempercayai sesuatu memang sudah menjadi bagian dari dinamika kemanusiaan.

Jangan dilawan, tapi cobalah rayakan perbedaan itu lewat bahasa yang lebih terbuka dan jujur.

#ItuSaja!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.