Kolom Andi Safiah: KESAKSIAN

Argumen terkonyol yang saya dengar hari ini adalah bahwa bersaksi itu ternyata ada 2 model. Pertama, bersaksi dengan menyaksikan langsung sebuah objek atau peristiwa. Ke dua, bersaksi dalam kaca mata “iman” denganmana kita tidak harus menyaksikan sesuatu dalam melakukan persaksian; cukup dengan pendekatan “iman” selesai.

Dan, saya menyebut persaksian ke dua lebih tepat sebagai sebuah penipuan atas diri sendiri. Tunduk pada logika “katanya”, sehingga menyebabkan manusia buta danĀ inilah yang selalu dijadikan senjata bagi kaum beriman untuk membungkam mereka yang “kewarasan” sekaligus “akal sehatnya aktif”.




Jika keyakinan anda tidak ingin dipertanyakan secara publik, maka ada baiknya simpan rapat. Saya sama sekali tidak tertarik dengan apa yang anda percaya, apalagi sekedar iseng menanyakan apa agamamu. Pertanyaan semacam inilah yang kemudian melahirkan begitu banyak salah paham dan kesalahpahaman itu harus dibahas dalam ruang-ruang pengadilan yang bekerja berdasarkan bukti, bukan berdasarkan keimananmu pada sesuatu.

Dan hari ini juga saya menyadari bahwa, kebodohan memang menjadi dasar dari semua pergerakan yang membentuk realitas kita. Untuk itulah mengapa keyakinan macam agama lebih baik tidak dipamerkan dalam ruang publik. Menulis identitas agama dalam KTP dari pada identitas otentik adalah penyakit sosial.

Bahkan seorang hakim pengadilan sekalipun akan salto ketika memutus perkara soal agama. Sudah terlalu banyak kasus yang beredar dalam ruang publik akibat persoalan remeh temeh macam agama. Kerusakan ini tetap dipertahankan dengan alasan-alasan yang salto.

Kalau mau waras, bangsa ini harus berani mengambil lompatan besar dengan membubarkan Departemen Agama, dan mulai berpikir untuk menata manusianya dari pada menata keyakinan manusianya.

Bangsa-bangsa seperti RRC yang menempati ranking pertama sebagai masyarakat yang non agamis justru bisa menikmati banyak hal dalam realitas dunia yang sedang bergerak menuju masyarakat yang satu. Bukan satu agama-tapi satu species yaitu species manusia, perbedaan keyakinan menjadi tidak penting lagi dan agama menjadi tidak menarik jika moralitas manusia bisa dikonstruksi lewat pendekatan-pendekatan yang open, berbasis rasa kemanusiaan yang sama.

Bahwa sebagai species manusia kita bisa membangun kerja sama yang productif, bukan model penaklukkan yang sudah terbukti menghancuran begitu banyak potensi manusia, saat ini species manusia jauh lebih waras itu disebebakan karena akses informasi yang terbuka dan bebas.

Pilihan ada di tangan manusia itu sendiri; tertinggal atau ikut berpartisipasi dalam membangun peradaban yang lebih baik untuk semua kehidupan.

#Itusaja!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.