Kolom Andi Safiah: NKRI Harga MATI

Dalam perspectif Philosophy, harga adalah simbol yang menjadi alat tukar menukar nilai. Seorang petani yang memiliki 10 buah apel bisa ditukar dengan satu pasang sendal jepit terbuat dari bahan jerami.

Atau seorang pengrajin tas kulit bisa menukarkan hasil kreasinya dengan 10 liter beras. Itu saat manusia belum menemukan uang sebagai alat tukar yang lebih simpel dimana, dengan berbagai model pertukaran di masa lalu, kompleksitas menjadi problem serius.

Doktrin NKRI harga Mati mengandung makna “Off” dan off dalam pengertian sederhana artinya tidak bekerja, atau tidak ada aktivitas apapun di sana.







Saklar lampu yang berada pada posisi Off akan sulit dijelaskan dengan pendekatan apapun, karena sesuatu yang off bermakna MATI. Apapun jenis barang elekronik yang ada di dalam sebuah rumah tidak akan berfungsi ketika saklar Off, atau supply energy tidak ada.

Ilustrasi ringan di atas saya harapkan bisa menggambarkan bagaimana sebuah bangsa yang mendasarkan prinsipnya pada “kematian” (off). Tidak ada apapun yang bisa dinyalakan, walaupun kita memiliki semua perangkat-perangkat bagus di dalam rumah kita.

Prinsip inilah yang kemudian membuat aktivitas yang mencoba “hidup” secara mandiri tanpa supply energi langsung dari sentral aktivitas dalam sebuah rumah. Anggap saja kemandirian itu muncul secara alamiah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan alamiah; seperti nenek moyang primitif kita yang mencoba menciptakan api dengan membenturkan dua buah benda padat.

Mereka yang mencoba membuat percikan harus berhadapan dengan berbagai persoalan. Misalkan, soal kelembaban udara dalam rumah yang tidak mendukung, atau bahkan ada semacam “polisi” yang doyan berpatroli agar tidak ada aktivitas cahaya dalam rumah. Rumah bernama Indonesia sengaja dijaga agar tidak ada aktivitas yang bisa menghadirkan cahaya. Setiap percikan yang ada selalu coba dimatikan dengan alasan-alasan dogmatis yang berharga mati.

Inilah yang menjadikan bangsa ini tidak berdaya, karena filsafat yang dianut bukanlah filsafat yang menghidupkan, tapi filsafat kematian yang dibumbui berbagai macam dongeng-dongeng kebesaran, dongeng-dongeng kemuliaan yang rapuh, ilusif dan toksit. Pikiran kita telah disetting agar menjadi manusia budak, yang tidak punya keberanian sedikit pun untuk melakukan perlawan, karena setiap perlawanan akan ditumpas dengan bahasa otoritas, di bawah bendera penistaan.

Bagi saya, inilah tragedi kehidupan yang membuang kebebasan dan meninggalkan kebohongan sebagai sebuah standar kebenaran. Kita tidak berdaya hidup dalam narasi kebohongan yang diulang-ulang. Siapapun yang berani memberontak akan dihabisi. Itulah NKRI yang berharga MATI, dimana orang hidup tidak punya ruang untuk berkekspresi.

#Itusaja!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.