Kolom Andi Safiah: ORGANISASI SARA

Argumen pemisahan agama dan negara secara sederhana adalah manusia secara individual punya hak untuk percaya atau meyakini apapun yang hendak dia yakini atau percaya, vise versa. Sementara negara sebagai organisasi netral punya tugas utama untuk memastikan bahwa hak-hak setiap warga negara terjamin secara sah dan adil, menurut konstitusi.

Jadi yang beragama itu adalah manusianya, bukan negaranya.

Yang terjadi selama ini adalah negara dipaksa untuk beragama oleh manusia-manusia yang memang tidak memiliki kapasitas intelektual memadai dalam menjalankan negara. Karena prinsipnya negara hadir untuk melayani manusia, bukan ikut campur dalam mengatur apa yang mau dipercaya atau tidak dipercaya oleh rakyatnya.

Kelemahan serius dan fundamental adalah ketika negara ikut campur dalam urusan keyakinan individual rakyatnya, apalagi negara secara sadar memainkan issue tersebut untuk kepentingan-kepentingan yang justru merusak cara berpikir rakyatnya sendiri.

Dinamika berpikir rakyat menjadi terkurung dalam ruang “unknown” karena lagi-lagi bicara kebenaran dalam perspectif keyakinan personal sangatlah subjectif. Menguji kebenaran subjectif ini adalah pekerjaan sia-sia belaka. Tidak heran jika pemerintah republik ini harus melahirkan UU yang itu secara terbuka melarang rakyatnya untuk berbicara soal-soal yang menyinggung SARA.

Padahal, aktor SARA sesungguhnya adalah pemerintahan itu sendiri lewat departemen SARA macam agama dan menjamurnya organisasi-organisasi SARA macam MUI, FPI, FUI, HTI, HMI, IMM, PMKRI, PMII, GP ANSOR, NU, MUHAMMADIYAH dan masih banyak lagi organ-organ yang berbau SARA.

Inilah paradox yang melahirkan absurditas dalam mengelola negara, kerena semua organ ini ingin mendapat manfaat secara finansial dari negara. Tanpa finansial mereka tidak lebih dari sampah yang berserakan.

Sudah sepantasnya negara tidak ikut memelihara organ sampah (SARA) sehingga rakyat tidak melulu kena terror ketika mereka mencoba bermain pada wilayah diskursus yang selalu dicap “HOLY” “FORBIDDEN” dan “SENSITIVE”. Istilah itu justru menyimpan banyak pertanyaan, mengapa SARA menjadi tabu untuk dibicarakan dengan pendekatan logis, padahal nyatanya organ SARA begitu banyak berjamur dalam masyarakat kita.

Jika ingin waras, maka pemisahan antara wilayah private agama dan wilayah public negara menjadi sesuatu yang sangat urgent dan fundamental.

#Itusaja!









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.