Kolom Andi Safiah: TAK HENTINYA ATAS NAMA TUHAN

Kekacauaan nalar di republik ini bukan karena absennya Tuhan. Justru karena Tuhan hadir sebagai landasan hidup bernegara kita, maka kekacauaan nalar itu menjadi kenyataan sehari-hari.

Tuhan yang dihadirkan dalam ruang-ruang publik hanya akan menjadi permainan bagi pikiran yang picik.

Contohnya A-, bagaimana dia memainkan gagasan Tuhan sebagai alat propaganda politiknya, padahal secara etik itu jelas tidak diijinkan oleh akal sehat manusia.

Cuman karena sebagai bangsa kita sudah terlanjur melibatkan Tuhan sejak awal Kemerdekaan, maka kita harus terus menerus belajar untuk berkompromi dengan situasi macam ini. Lain halnya bila secara sadar kita sebagai bangsa mulai memindahkan semangat “Ketuhanan” ke dalam ruang-ruang pribadi kita masing-masing. Lalu, belajar mengaktifkan semangat ‘kemanusiaan” dalam membangun peradaban Indonesia di masa depan.




Perhatikan betapa seorang Jokowi bersusah payah menjelaskan lewat tindakan bagaimana membangun spirit kemanusiaan, walaupun dia tidak punya pilihan selain masuk dalam ruang-ruang “Keagamaan” yang dipaksakan menjadi ruang publik. Yang terjadi tetap salah paham yang tidak akan berujung. Oleh alasan-alasan absurd, ketuhanan dan keagamaan yang tetap saja berDNA kaku, alih-alih saya sebut hypocrite.

Jadi, bagaimana jalan keluarnya menurut angan-angan anda?

Begini. Kita mulai dengan membebaskan ruang-ruang imaginasi manusia Indonesia. Biarkan rakyat Indonesia berbicara dengan bebas dalam arena dialektika yang memang difasiltasi oleh demokrasi. Jika membicarakan soal Tuhan dan agama harus berakhir di penjara, maka otak manusia Indonesia sebenarnya sedang berada dalam penjara itu sendiri.

Pekerjaan membebaskan otak manusia Indonesia sudah dibantu oleh banyak aplikasi. Salah satunya adalah Facebook dimana kita bisa dengan bebas mengeksplore gagasan-gagasan. Walaupun pada awalnya terdengar “Idiots” di telinga kebanyakan orang, tapi pada kenyataannya memang kita harus mengakui bahwa kita adalah bangsa dengan spirit “Idiotslogy” yang luar biasa massifnya.

Ketika kesadaran ini sudah sampai pada tahap lanjut, maka korekasi internal akan menjadi sesuatu yang alamiah dalam diri kita sebagai bangsa. Dari sanalah semua perubahan itu akan berlangsung. Paling penting adalah merombak cara pandang kita entang dunia. Dari gaya berpikir mitologis, menjadi gaya berpikir metodologis, dengan meminjam semua perangkat teknologi dan Ilmu pengetahuan yang ada saat ini.

Bersikap egois tidak akan menjawab persoalan mendasar dari bangsa Indonesia. Kita harus berani melampaui mimpi-mimpi yang pernah dibayangkan oleh Bapak-bapak pendiri Bangsa Indonesia.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.