Kolom Andi Safiah: URUSAN AGAMA (Sirulo TV)

Sejauh pantauan saya, dengan menggunakan radar “Kolbu”, cuman Islam saja agama yang agak rumit dikritik secara terbuka di Indonesia. Padahal, jika proses dialektika kritis dipelihara dengan baik, maka proses pendewasaan warga negara akan semakin cepat. Sisi sensitif dari Islam bisa dipahami karena, menurut saya, Islam dan agama lain sama saja posisinya di hadapan Hukum.

Perlakuan istimewa dari negara terhadap Islam justru membuat agama ini menjadi semakin sensitif, padahal amanat UUD jelas tidak ada yang istimewa selain Manusia.

Coba perhatikan kalimat pembukaan dari UUD 45: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak.” Kemerdekaan jelas bukan kewajiban tapi hak yang melekat pada diri setiap manusia Indonesia. Salah satu kemerdekaan yang dimaksud oleh UUD 45 adalah kemerdekaan beragama atau tidak, kemerdekaan bertuhan atau tidak.

Pada konteks ini jelas Islam sebagai salah atau agama yang diakui oleh negara tidak lebih istimewa dari agama Hindu, atau agama Kristen.

Kelemahan Indonesia sebagai bangsa adalah tidak punya keberanian dalam memisahkan urusan agama dan negara, sementara alasan-alasan historis sudah sangat tersedia dengan bebas. Yang lebih dramatis adalah pandangan bahwa agama dan negara adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Argumen semacam ini juga dibangun di atas alasan historis yang menurut saya cukup kabur.

Apalagi alasan kemerdekaan bangsa Indonesia selalu dikaitkan dengan peran tokoh agama, sementara di luar tokoh agama seolah-olah tidak eksis. Inilah yang dimaksud oleh Arthur C. Clark sebagai “Pembajakan”. Agama telah membajak banyak hal dalam kehidupan manusia, bahkan kehidupan bernegara.

Mulai dari nilai-nilai moral dibajak oleh agama. Seolah-olah tanpa agama manusia menjadi tidak bermoral, sementara fakta sejarahnya justru terbalik.

Jadi, dari dasar “Kolbu” saya yang paling dalam saya akan terus berbisik tidak ada agama yang istimewa, termasuk Agama Islam. Yang istimewa adalah manusia, karena manusia adalah sumber dari segala sumber kebaikan sekaligus keburukan. Sumber moralitas tertinggi juga ada pada diri manusia, yang berbuat baik adalah manusia, yang berbuat jahat juga manusia.

Itulah mengapa seorang Abraham Lincoln mencoba menghaluskan posisi agama dari brutal menjadi agama rasional dengan menulis pesan terbuka pada umat manusia: “Bahwa jika kamu melakukan hal yang baik maka kamu akan merasa baik, jika kamu melakukan hal buruk maka kamu akan merasa buruk, itulah agama.”

Perlu dicatat dengan tinta emas, bahwa agama itu soal “rasa” bukan soal nalar. Makanya posisi agama ada dalam “Kolbu” manusia, sementara posisi negara jelas transparan dan terbuka wajib rasional.

#Itusaja!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.