Kolom Asaaro Lahagu: ADA TITO, WIRANTO, DAN BIN, DEMO 299 STRESS, FRUSTRASI DAN GAGAL

Skema demo massal ratusan ribu dengan tujuan menolak PKI dan Perpu ormas, rusak di tengah jalan. Sebelum demo nomor togel 299 atau sehari menjelang 30 September, skenario membesarkan jutaan demo sudah dirancang dengan sangat rapi. Hal itu bisa dilihat dari beberapa rentetan kejadian berikut.

Pertama, isu-isu bangkitnya PKI dimunculkan dengan gencar menjelang 30 September. Caranya, kelompok A pura-pura menyusup dan mendorong adanya seminar di LBH Jakarta. Tujuannya mulia. Mencari kebenaran fakta peristiwa 1965. Lalu kelompok B membuat isu hoax berdasarkan pasokan informasi dari kelompok A bahwa di gedung LBH Jakarta ada rapat PKI. Padahal di sana tidak ada diskusi tentang PKI.




Lalu dengan menunggangi isu yang dibuat kelompok B itu, kelompok C menggerakkan pendemo. Ingat  jumlah pendemo yang mengepung LBH pada tanggal 18 September 2017 itu lebih dari 1000 orang. Kelompok ini kemudian tiba-tiba muncul  entah datang dari mana. Mereka langsung mengepung Kantor LBH Jakarta malam harinya. Dari mana mereka? Siapa yang menggerakkan orang-orang itu begitu cepat? Itu pasti sudah disusun skenarionya.

Ke dua, kebiadaban PKI kembali diingatkan dengan memunculkan film G 30S/PKI yang membunuh para jenderal TNI Angkatan Darat. Padahal sejak tahun 2008 era Presiden SBY, film ini tidak lagi ditonton karena isinya lebih menonjolkan kepahlawanan Soeharto. Sejak penghentian Nobar film G30S/PKI 2008, sama sekali tak ada yang mempersoalkannya. Lalu mengapa pada tahun 2017 ini di seluruh negeri tiba-tiba banyak pihak bernafsu menonton film jadul buatan Arifin C Noer itu? Ini pasti sudah disusun skenarionya.

Isu larangan untuk menonton film G30S/PKI pun dibuat, disebarkan dan dipropagandakan. Tujuannya agar ada kesan kuat bahwa memang kelompok yang pro-PKI benar-benar eksis. Pembesaran isu PKI ini akhirnya sukses memancing darah Gatot memuncrat yang memang berasal dari Angkatan Darat. Gatot pun karena disenggol institusinya, langsung memerintahkan seluruh prajuritnya menonton film itu. Gayung bersambut, PKS dan Gerinda yang menjadi barisan terdepan pembuat isu bangkitnya PKI, berhasil membuat Gatot masuk perangkap. Gatot pun mesra dengan PKS dan memujinya sebagai partai yang konsisten.

Ke tiga, pembusukan terhadap BIN dan Polri. TNI  dicoba dibenturkan dengan Polri dan BIN. BIN (Badan Intelijen Negara) pimpinan Budi Gunawan menjadi musuh bebuyutan ormas-ormas radikal. BIN-lah yang selama ini menjadi batu sandungan ormas radikal yang didukung oleh para oknum mantan Jenderal. Gatot, Panglima TNI, dipasok terus-menerus informasi intelijen bahwa ada institusi di luar militer dan Polri mencoba membeli senjata standard TNI sebanyak 5.000 pucuk.

Hasilnya? Gatot terjebak. Gatot yang sudah dipasok informasi salah dari beberapa pihak, sudah tidak mau berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, BIN, Polri. Yang muncul kemudian adalah kecurigaan Gatot yang berakibat blunder. Gatot melempar pernyataan senjata illegal 5.000 pucuk saat bertemu dengan para purnawirawan TNI. Informasi itu menurut Gatot adalah hasil informasi akurat dari intelijen. Bahkan Gatot berani melempar bola panas siap ‘menyerbu markas Polri’ jika Polri terbukti mempunyai senjata yang bisa menembak alat-alat tempur TNI. Belakangan Gatot buru-buru membantah bahwa informasi senjata illegal 5.000 pucuk bukan dari intelijen.

Ke empat, setelah skenario satu, dua dan tiga berhasil, maka dibuat skenario ke empat yaitu demo ratusan ribu massa di depan DPR/MPR 29, 30 September dan bisa berlangsung hingga 1 Oktober. Isinya menolak Perpu Ormas dan PKI. Jika massa dapat dipicu menjadi tujuh jutaan, maka para pendemo menguasai paksa gedung DPR/MPR dan menuntut diadakannya sidang istimewa untuk menurunkan Jokowi. Alasannya Jokowi otoriter dan Sang Presiden telah melakukan kesalahan membangkitkan PKI. Karena itu harus dilengserkan. Di gedung DPR/MPR sudah bersiap-siap Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Agus Hermanto. Mereka siap menerima pendemo dan siap-siap bermanuver jika dibutukan.

Pertanyaannya adalah apakah demo 299 berhasil maksimal? Ternyata tidak. Bahkan bisa dikatakan telah gagal total sejak beberapa hari sebelumnya. Mengapa?

Pengepungan di LBH Jakarta, ternyata sudah dibaca oleh polisi lewat pasokan informasi dari BIN. Polisi sigap dan sukses mengamankan demo. Kesiapan polisi bisa dilihat dari penangkapan 15 orang  dimana 7 orang diantaranya menjadi tersangka biang kerok demo. Penangkapan ini jelas melemahkan moril demo massa 299.

Pada tanggal 26 September 2017 rencana demo 299 sudah dilemahkan oleh aksi kebangsaan melawan radikalisme oleh lebih 1.000 orang pimpinan dan dosen perguruan tinggi se-Indonesia. Pertemuan itu diadakan di Bali dan sudah dirancang 2 bulan sebelumnya. Pada waktu yang tepat, aksi perlawanan yang digerakkan oleh pimpinan perguruan tinggi tak diduga oleh pendukung Ormas radikal.




Pihak-pihak yang mendukung Ormas radikal pun tercengang. Bagaimana mungkin pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia begitu kompak melawan radikalisme? Ketika mendengar suksesnya pertemuan itu, Amin Rais yang dibesarkan oleh gerakan mahasiswa tercengang geleng-geleng kepala. Amin Rais pun langsung lemas tak berdaya. Morilnya menggerakkan demo 299 langsung ambruk.

Nobar (nonton bareng) film G30S/PKI pun sama sekali tidak dilarang oleh Presiden Jokowi. Padahal Ormas radikal sudah siap-siap menghebohkan jika Jokowi melarang film itu untuk ditonton. Sambil mengijinkan film G30S/PKI ditonton, Jokowi menyelipkan kerikil batu pada sepatu Ormas agar dibuat film G30S versi milenial. Lebih hebatnya Jokowi sendiri ikut nobar film G30S/PKI di Bogor. Mantap.

Terkait blunder Gatot, Wiranto dengan cepat meluruskannya. Wiranto menegaskan bahwa tidak ada pembelian senjata illegal 5.000 pucuk. Yang ada adalah 500 pucuk senjata dibeli secara sah oleh BIN dan anggarannya sudah disetujui oleh DPR. Penjelasan ini langsung membungkam Gatot. Gatot pun dipanggil Presiden dan menjelaskan blundernya itu dengan malu.

Sungai Lau Jandi yang mengalir dari Desa Jandi melintasi Desa Kidupen, Dataran Tinggi Karo, kampung asal dari Jonru Ginting dan Dr. Jamin Ginting SH. Foto: Desa Kidupen.

Soal senjata Polri yang bisa menghancurkan alat tempur TNI, itu adalah video lama yang sengaja dimunculkan kembali oleh kelompok propaganda Ormas radikal. Padahal senjata itu adalah senjata lama yang dipakai pada saat latihan. Senjata itu pun sekarang sudah tidak ada lagi di gudang senjata Polri. Polri sendiri berhak mempunyai senjata anti tank karena Polri mempunyai pasukan Brimob yang disiapkan untuk bertempur di medan perang.

Isu bangkitnya PKI, ternyata tidak membesar seperti yang diharapkan Ormas radikal dengan dukungan para oknum mantan Jenderal. Demo hari 29 September 2017 seperti yang dilaporkan Kapolri Tito kepada Menkopolhukam Wiranto tetap aman terkendali. Kompas menulis bahwa jumlah pendemo tidak lebih dari 6.000 orang. Tidak seperti yang digembar-gemborkan sekitar 50.000 orang apalagi ratusan bahkan jutaan orang.

Pagi 29 September 2017 disiarkan secara masif di media massa bahwa Jonru Ginting, otak di balik pembuat berita-berita hoax ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. Kaum bumi datar pun tergoncang. Lalu, pada hari itu pula, juga keluar hasil survei dari SMARC tentang keterkaitan Jokowi dengan PKI. Hasilnya, mayoritas responden SMRC tak percaya Presiden Jokowi terkait PKI. Yang setuju dengan opini bahwa Jokowi PKI sekitar 5,1%, relatif sangat kecil dibanding yang tidak setuju, 75,1%. Sebanyak 19,9% menjawab tidak tahu.

Untuk pertanyaan apakah saat ini sedang terjadi kebangkitan PKI, 86,8 persen mengaku tidak setuju. Sisanya, 12,6 persen, menjawab setuju isu PKI bangkit, dan 0,6 persen tidak tahu atau tidak menjawab. Saat dilihat dari basis dukungan saat Pemilu 2014, ada 37% pemilih PKS yang percaya bahwa saat ini sedang terjadi kebangkitan PKI. Persentase itu adalah yang paling tinggi dan diikuti 20% pemilih Gerindra yang percaya PKI kini bangkit lagi. Jadi ternyata yang pro Prabowo-Gerinda-PKS yang paling banyak percaya PKI bangkit.




Jika demo 299 tak bergaung lebih besar alias gagal, itu  karena sudah dilemahkan dan dikacaukan sebelumnya. Apalagi MUI dan PBNU telah menghimbau masyarakat agar tak ikut demo 299. Belum lagi sindirian Said Agil yang mengatakan bahwa mumpung ada yang membiayai, silahkan berdemo.

Tentu gagalnya gaung demo 299 tidak lepas dari kerja hebat intelijen hasil kolaborasi Tito, Wiranto dan BIN. Jika kemudian tetap ada demo seupil 299, itu adalah demo frustrasi, stress, dan putus asa dari para penggerak demo.

Padahal ada logika terbalik-balik yang diusung pendemo, yakni menolak PKI yang anti Pancasila, namun menyerukan khilafah yang anti Pancasila. Jokowi disebut komunis namun pada saat yang sama Jokowi disebut juga kapitalis.

Maka tepatlah bunyi spanduk di depan kantor DPR-MPR itu. “Demo mulu, bosan, demo tidak produktif”. Para pendemo pun setengah tersinggung atas spanduk itu karena  jujur mereka tetap menginginkan Jokowi tetap Presiden. Mengapa? Karena jika Jokowi tetap Presiden, demo tetap ada. Dengan demikian nasi bungkus tetap mengucur dan uang saku tetap mengalir deras.

Begitulah kura-kura.













Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.