Kolom Asaaro Lahagu: FAKTOR X INI YANG MEMBUAT PRABOWO MENANG (Sirulo TV)

Ada seorang teman menginbox saya dengan sebuah pertanyaan sulit. Mungkinkah Prabowo menang? Saya menjawab, mari kita lihat kemungkinannya berdasarkan data, probability dan faktor X. Tak ada pihak yang meyakini 100% Jokowi menang pada Pilpres 2019. Pun tidak ada pihak yang meyakini bahwa Prabowo akan kalah telak. Kedua belah pihak masih menyimpan asa. Kubu Prabowo tetap optimis untuk menang.

Kalau di semua survei, Prabowo masih kalah unggul dengan Jokowi, namun di survei internal mereka, Prabowo sudah menyamai Jokowi.

Elektabilitas Prabowo menurut Sandiaga sudah di atas 40%. Bahkan menurut prediksi Fadli Zon, Prabowo-Sandiaga akan menang 63%. Itu berarti klaim dan optimisme menang di Kubu Prabowo semakin tinggi menjelang 17 April.

Lalu, bagaimana dengan Kubu Jokowi? Kubu Jokowi tetap optimis menang. Apalagi semua survei memenangkan Jokowi dan rata-rata unggul 12-24%. Namun, Kubu Jokowi tidak yakin betul bahwa mereka menang. Ada sedikit keraguan. Dasar keraguan itu sekurang-kurangnya tergambar pada 3 hal berikut.

Pertama, saya merujuk pada survei Kompas yang sampai saat ini saya percayai. Sebelum penetapan Jokowi sebagai Capres dan Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Agustus lalu, elektabilitas Jokowi berada pada posisi 59,2%. Akan tetapi, 2 bulan setelah penetapan, yakni Oktober 2018, elektabilitas Jokowi menurun 52,6%.

Mengapa setelah Jokowi ditetapkan sebagai Capres elektabilitasnya malah menurun? Lalu, mengapa elektabilitas Prabowo cenderung naik? Elektabilitas Prabowo sebelum penetapan berada pada kisaran 27,5%, tetapi kemudian naik menjadi 32,7% setelah penetapan. Indikasi-indikasi inilah yang membuat Kubu Jokowi sedikit bimbang sedangkan Kubu Prabowo bergairah.

Ke dua, hingga Februari 2019, pengaruh KH Maruf Amin cenderung gagal mengerek elektabilitas Jokowi. Sejak ditetapkan hingga sekarang, suara untuk Jokowi belum ada tanda-tanda peningkatan. Ada kecenderungan stagnan dan malah ada indikasi penurunan. Ini bisa dilihat dari beberapa survei.

Secara elektoral, Ma’ruf diharapkan mampu mendongkrak suara di Banten. Namun, hingga bulan Februari 2019, hal itu belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Sebaliknya, pada pihak lawan, Sandiaga Uno sebagai calon wakilnya Prabowo terlihat lebih aktif dan atraktif. Sandiaga mengaku sudah mengunjungi 1.000 titik kampanye hingga pertengahan Januari lalu.

Ke tiga, militansi untuk memenangkan calon presiden, sejauh ini, jauh lebih terlihat pada pendukung Prabowo-Sandi daripada pada pendukung Jokowi-Ma’ruf. Menurut info yang beredar, para pendukung Prabowo rela bangun pagi-pagi Pukul 02.00 dini hari hanya untuk ramai-ramai mengerek trend nomor satu sebuah tagar buatan mereka di Twitter.

Dalam hal menyebarluaskan informasi positif terhadap pasangan calon, misalnya, pendukung Prabowo melakukannya sebanyak 41%. Sementara hal yang sama dari Kubu Jokowi hanya melakukannya sebanyak 39,4%.

Dalam upaya mempengaruhi orang lain dengan mengajak memilih pasangan yang ia pilih, 30,3% pendukung Prabowo mengaku melakukannya dan hanya 25,6% dari pendukung Jokowi-Ma’ruf yang melakukannya (hasil survei Kompas Oktober).

Dengan beberapa titik kelemahan Kubu Jokowi-Ma’ruf di atas, apakah sudah cukup alasan bahwa Prabowo kemungkinan menang? Tentu saja tidak.

Lalu, bagaimana jika Prabowo mengandalkan undecided voters atau swing voters? Jika membandingkan elektabilitas Prabowo versus Jokowi pada tahun 2014 dengan mengandalkan undecided voter (swing voters), dan hal yang sama terulang pada Pilpres 2019 dengan merujuk hasil survei, maka tetap saja Prabowo sulit menang.

Survei Indo Barometer yang dilakukan 2 minggu sebelum pelaksanaan Pilpres 2014, perbedaan elektabilitas Jokowi vs Prabowo hanya sebesar 3,4%. Kala itu posisi Prabowo-Hatta 42,6% dan Jokowi-JK 46%. Sisa suara 11,4% undecided voter.

Itulah sebabnya, sebagian besar survei saat itu sama sekali tidak bisa memastikan siapa yang bakal menang. Alasannya karena perbedaannya elektabilitas keduanya sangat kecil dan amat dipengaruhi oleh dinamika perubahan.

Ternyata suara yang belum menentukan pilihan ini, terdistribusi mengikuti proporsi perolehan suara masing-masing Paslon ketika hari pencoblosan tiba. Hasilnya Jokowi menang dengan perbedaan 6% suara.

Pada Pilpres 2019, apa yang terjadi pada tahun 2014, sangat mungkin terjadi kembali. Sisa undecided voter hingga 15% akan terdistribusi mengikuti proporsi perolehan suara masing-masing. Dengan pola seperti ini, maka sangat sulit bagi Prabowo menang Pilpres.

Lalu apa faktor X yang bisa memenangkan Prabowo-Sandi? Strategi model Pilkada.

https://www.youtube.com/watch?v=kIWWucszPpA

Di Jawa Barat, pasangan yang diusung Prabowo, yakni Sudrajat dan Ahmad Syaikhu, yang oleh lembaga-lembaga survei diprediksi berada di papan bawah tiba-tiba muncul sebagai pemenang nomor dua pada hasil akhir rekapitulasi KPU. Bahkan Sudrajat dan Syaikhu, mampu mengungguli pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang sudah popular.

Di Jawa Tengah, pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah mampu melipatgandakan suaranya hingga tiga kali lipat dari prediksi hasil survei. Demikian juga di Temanggung, pasangan yang diusung Gerindra dan PAN, Al Khadziq dan Heri Ibnu Wibowo, mampu memenangkan Pilkada mengalahkan petahana yang kuat.

Artinya, strategi model Pilkada tersebut, jika diterapkan, sangat mungkin Prabowo-Sandi akan membalik prediksi. Sama seperti di Pilpres Amerika 2016, prediksi Hillary Clinton akan memenangkan pertarungan, namun nyatanya si Donald Trump yang menang.

Itulah faktor X yang bisa memenangkan Prabowo. Akan tetapi, pertanyaannya adalah, apakah strategi di Pilkada itu bisa diterapkan pada tataran nasional? Mari kita tunggu hasilnya.

https://www.youtube.com/watch?v=kIWWucszPpA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.