Kolom Asaaro Lahagu: JOKOWI TETAP GELIAT (Taktik Tito Tidak Langsung Tangkap Andi – Zulkarnaen) (Sirulo TV)

 

Asaaro LahaguAwal Januari 2019, Jokowi menggeliat. Spiritnya membara. Energinya semakin menggebu. Tanda-tanda alampun membuatnya di atas angin. Strateginya tetap manjur, membuat lawannya ternganga. Jokowi sambil senyum-senyum memotong pita pembukaan Tol Trans Jawa, mengumumkan dengan bangga pengambilalihan Freeport, menurunkan BBM bersamaan dengan Rupiah menguat.

Sementara penerimaan negara untuk pertamakalinya lebih dari 100% atau melebihi target APBN 2018.

Tetapi, itu bukan hal penting. Hal yang penting adalah konsolidasi strategisnya dalam bidang pertahanan dan keamanan. Ini penting karena, sekuat apapun bidang lain, kalau bidang pertahanan dan keamaan disusupi, maka dengan mudah Jokowi ditekuk.

Konsolidasi strategis Jokowi beberapa tahun sebelumnya kini berbuah manis. Taktiknya menunjuk Tito Karnavian menjadi Kapolri, sebuah strategi jitu. Tito tetap menjabat sebagai Kapolri hingga selesai Pilpres 2019. Dengan jabatan yang lama itu, maka Tito dengan mudah mencium pergerakan oknum pengkhianat di tubuh institusi Polri.

https://www.youtube.com/watch?v=o-7NQLDUkzg

Jabatan Tito yang lama menjadi jaminan untuk membuat internal Polri solid dan tak bisa diadudomba oleh lawan. Di Era Tito, kegaduhan untuk beradu dengan KPK langsung berhenti. Baik institusi kepolisian, kejaksaan maupun KPK ketiganya berkolaborasi menangkap dan memenjarakan koruptor yang semakin sulit mendapat dana kotor.

Pihak lawan kini tidak bisa leluasa mengumpulkan dana dari luar negeri. Semua pergerakan aliran duit akan dengan mudah dicium PPATK lewat konsolidasi penuh dengan semua bank. Jadilah Prabowo memaksa Sandiaga mengeluarkan duit lewat penjualan saham dan Neno Warisman dipaksa untuk melelang tiket murah ke surga yang hanya 5 juta rupiah.

Sementara itu konsolidasi TNI semakin solid di tangan Panglima Hadi Tjahjanto. Puncak konsolidasi di internal TNI terjadi ketika adanya pengangkatan KSAD baru Jenderal Andika Perkasa. TNI akhirnya tak bisa lagi diadudomba, dimanfaatkan dan ditunggangi seperti di era Gatot Nurmantyo.

Ketika pucuk pimpinan TNI solid dengan para kepala staf AU, AD, AL, Pangkonstrad, Paspamres berkolaborasi dengan intelijen, maka pertahanan dan keamanan tak ada celah. TNI-Polri dengan cepat mencium pergerakan lawan. Lawan pun tak bisa bergerak. Maka hanya hoax-hoaxlah dan opini-opini liar yang bisa diproduksi. Tak ada celah untuk masuk di internal TNI dan Polri.

Ketika ada isu hoax Ratna Sarumpaet, Polri didukung TNI dengan cepat terbongkar. Demikian juga isu 7 juta kontainer suara telah tercoblos dengan cepat terbongkar. Walaupun skenario isu hoax itu didesain oleh para jenderal purnawiran lawan, namun kelemahannya dengan mudah ditemukan.

Untuk menekuk mereka yang melanggar hukum, dipakai taktik fokus ke titik api dan taktik melingkar. Dalam kasus hoax Ratna misalnya, Tito memakai taktik fokus ke otak api dan membiarkan yang lain berasap-asap.

Biarkan semua mereka yang telah menyebar hoax Ratna berdebar-debar jantungnya saat Ratna bersaksi di pengadilan. Kesaksian Ratna di pengadilan nantinya yang pernah bertemu dengan Prabowo, Fadli Zon beserta Amin Rais akan menjadi berita-berita utama di media-media. Ini sudah cukup memukul mental lawan yang sedang bertarung di Pilpres.

Saat Ratna membongkar kobodohan Prabowo dan Fadli Zon yang percaya pada hoax Ratna, publik kembali mengingat konferensi hoax Prabowo. Inilah yang tidak dipahami oleh publik. Tidak perlu memeriksa Prabowo, Fadli Zon, Fahri Hamzah. Publik sudah tahu siapa mereka.

Namun, Tito juga tidak mau publik memandang remeh dirinya. Ia telah menunjukkan keberanian besar dengan memeriksa Amin Rais. Ingat, secara politik, Amin Rais yang pernah menjadi Ketua MPR, masih di atas Prabowo. Itu sudah cukup menggerogoti mental para penyebar hoax Ratna.

Dengan taktik itu, Tito tidak langsung memeriksa Prabowo, Fadli Zon, Fahri Hamzah, yang terang-terangan menyebar hoax penganiayaan Ratna. Tito fokus kepada Ratna sebagai episentrum hoax. Lalu, sesudahnya, menekuk yang lain secara melingkar, menjepit, menekuk sesuai dengan situasi dan kondisi.

Demikian juga soal kasus 70 juta suara tercoblos. Di sini dipakai taktik melingkar namun tetap fokus ke titik api.

Aparat tidak langsung mencokok dua penyebar hoax Andi Arief dan Tengku Zulkarnaen. Tetapi para penyebar hoax kelas teri yang duluan ditangkap dengan tetap memburu pelaku utama. Ini adalah bagian dari strategi. Orang-orang kelas teri dulu yang ditangkap sambil memancing otak pertamanya.

https://www.youtube.com/watch?v=N0MJbECubvs

Sementara itu penangkan Andi Arief dan Tengku Zulkarnain digantung terlebih dahulu. Biarkan jantung kedua orang itu berdebar-debar, menunggu, gelisah dan khawatir. Biarkan kedua orang itu mati penasaran. Ketika tiba saatnya, orang-orang itu yang sudah salah langkah, salah tingkah, salah kira, maka tinggal ditekuk dengan enteng.

Bukankah sekarang jantung Andi Arief berdebar-debar? Ia gugup dan tak bisa tidur bahwa suatu saat ia diperiksa? Lihatlah Andi Arief dengan mabuk dengan bukti hoax melaporkan semua orang yang mencap dirinya sebagai penyebar hoax. Demikian juga Tengku Zulkarnain pucat-pasi menunggu giliran ditangkap?

Biarkan penyebar hoax bingung untuk sementara, kenapa tidak ditangkap. Biarkan penyebar hoax itu sibuk mengalihkan isu, membela diri membabibuta dan akhirnya terhuyung-huyung sendiri. Dalam keterhuyungan, maka dengan sendirinya ada lagi hoax-hoax yang lain yang mendera. Dan, saat itu, masuklah dalam jebakan. Hoax lebih parah akan menelan diri mereka sendiri, membunuh diri mereka sendiri.

Hasil-hasil survei sudah terang-terangan mengambil kesimpulan bahwa Prabowo kalah. Elektabilitasnya sangat sulit beranjak naik. Elektabilitas Prabowo hanya 30 – 32%. Kemudian, jika dipaksakan setengah dari swing voters yang berjumlah 15-20%, maka elektabilitas Prabowo paling tinggi hanya berkutat pada kisaran 40-42%. Itu sudah mentok mati. Kisaran suara sekitar 40-42% paling tinggi itulah yang diklaim Sandiaga bahwa elektabilitas Prabowo di atas 40%.

https://www.youtube.com/watch?v=lXBVx5QQg_g

Jika melihat angka maksimal raihan Prabowo yang turun dari 46% pada Pilpres 2014 menjadi 40-42% pada Pilpres 2019, jelas para pendukungnya merasa stress dan frustrasi. Ketika sudah tahu kubunya kalah lagi, maka hanya satu yang bisa dibuat yakni gagalkan dan kacaukan Pemilu.

Demi tujuan jahat itu, maka dilakukanlah segala upaya sistematis, terstruktur dan masif untuk mendelegetimasi Pemilu. Mereka membangun opini-opini liar bahwa di era Jokowi situasi begitu kacau, tak beraturan dan berantakan.

Setelah opini berkembang, maka selanjutnya dibuat hoax untuk menyerang KPU. Opini liar tentang KPU-pun dibangun sedang berpihak kepada pemerintah. Tujuannya agar masyarakat percaya.

Nah apakah upaya mendelegetimasi Pemilu berhasil dan membuat sebagian masyarakat percaya? Tentu saja tidak. TNI-Polri yang sangat solid akan mudah mematahkan skenario-skenario jahat apapun dari Kubu Prabowo, membongkarnya dan mengulitinya langsung.

Jadi, ketika Jokowi tetap menggeliat, kubu lawan stress dan frustrasi serta akhirnya hanya bisa membuat hoax, yang dengan mudah dipatahkan oleh TNI-Polri.

Begitulah kura-kura. #17AprilJokowiTetapPresiden.

https://www.youtube.com/watch?v=yXBBXbUQDNk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.