Kolom Asaaro Lahagu: MENGAPA ABURIZAL BAKRI HANYA NYARIS MENDUKUNG JOKOWI?

Dua tahun sebelum Pilpres 2014, Aburizal Bakri (Ical) getol mempromosikan diri sebagai Capres. Lewat iklan di televisi miliknya, tayangan tentang Ical nyaris mengudara setiap hari. Dalam beberapa iklan yang ditayangkan, Ical digambarkan sebagai sosok negarawan sejati. Lebih lanjut dalam iklan-iklannya, Ical diperlihatkan sebagai sosok yang sangat peduli kepada rakyat.

Ia diperlihatkan sedang turun ke tengah-tengah rakyat kecil dan mendengarkan segala masalah mereka.

Ical juga diperlihatkan gemar mengunjungi berbagai daerah di Tanah Air, hadir di pasar-pasar, makan di tempat-tempat sederhana, bertemu dengan banyak rakyat jelata dan ikut memperjuangkan kesejahteraan rakyat.




Soal keluarga, sosok Ical sangat dibanggakan. Sebagaimana digambarkan dalam iklannya, Ical adalah suami yang sangat perhatian kepada keluarga. Dalam iklan lain soal perannya dalam keluarga, Ical digambarkan sebagai orang yang sangat peduli kepada cucu-cucunya. Ia menyisihkan waktunya untuk menemani, bermain dan menggendong cucunya.

Menjelang Pilpres 2014, iklan Ical semakin gencar ditayangkan. Tetapi, apa yang terjadi pada Tahun 2014 itu? Mimpi Ical untuk menjadi presiden tidak pernah menjadi kenyataan. Ternyata elektabilitas Ical tidak pernah melewati angka 1 digit. Salah satu alasannya adalah kasus Lapindo, perusahaan milik Ical, yang terkatung-katung penyelesaiannya sejak perisitiwa itu terjadi tahun 2006.

Kasus Lapindo, memang telah memukul telak Ical. Ketika kasus ini tidak bisa diselesaikan oleh SBY dan Ical sendiri, maka masyarakat apatis terhadapnya. Apalagi Ical yang berlatarbelakang pengusaha dan mau menjadi pejabat, kapasitas dan integritasnya kemudian diragukan banyak pihak.

Di tengah kelesuan elektabilitas Ical, di DKI Jakarta muncul nama Jokowi yang telah sukses menjadi Gubernur DKI tahun 2012. Elektabilitas Jokowi terus menanjak dan langsung menjadi idola publik. Elektabilitas Prabowo, Capres sangat potensial kala itu, pelan-pelan tergerus oleh kehadiran Jokowi.

Dari beberapa calon yang ingin menjadi Capres, hanyalah nama Jokowi dan Prabowo yang menduduki peringkat paling atas. Sementara nama Aburizal Bakri tetap stagnan. Menjelang pendaftaran Capres di KPU, nama Ical semakin tenggelam. Partai-partai lain saat itu cenderung mendukung Prabowo.

Sementara itu Partai Demokrat pimpinan SBY tidak mau berkoalisi dengan Golkarnya Ical. PD malah berperilku wait and see. SBY saat itu berencana menjajaki koalisi dengan Jokowi sesudah Pilpres. Selama perhelatan Pilpres, Partai Demokrat menyatakan sebagai partai netral.

PDIP sebagai pengusung utama Jokowi, sangat percaya diri. Elektabilitas Jokowi yang semakin tinggi, membuat PDIP ogah untuk berkoalisi dengan partai lain. PDIP hanya berkoalisi ramping dengan partai kecil seperti PKB, Nasdem dan Hanura. Sementara Gerinda, PAN, PPP bahkan sepakat mengusung Prabowo sebagai Capres. Tinggalah Golkar bersama Ical yang terkatung-katung dan tidak bisa mengusung calonnya karena kekurangan dukungan suara di parlemen.

Ical kemudian melakukan balik kanan. Ia mendekati PDIP dan Capres Joko Widodo. Ical langsung menawarkan diri sebagai Capres Jokowi. Namun, keinginan Ical itu ditolak langsung oleh PDIP dan Jokowi sendiri. Koalisi Jokowi kala itu lebih memilih Jusuf Kalla yang dipandang masih berpengaruh besar di Golkar.

Penolakan sebagai Capres Jokowi menyebabkan Ical sakit hati. Bahkan sesudah tawaran Capres ditolak, Ical masih mau mendukung Jokowi namun dengan syarat tertentu. Tetapi PDIP dan Jokowi percaya diri, menolak syarat yang diajukan Ical itu. Di hadapan media pada detik-detik akhir pendaftaran di KPU, Jokowi menerima dukungan Ical namun tanpa syarat. Lagi-lagi Ical sakit hati untuk keduakalinya. Karena ditolak, Ical kemudian melabuhkan dukungannya kepada Prabowo.

Belakangan, untuk membalas sakit hatinya, Ical dengan licik menginisiasi Pilkada tak langsung lewat DPRD dan merancang UUMD3 untuk menjegal koalisi Jokowi di Parlemen. Berkat UUMD3 itu, pucuk pimpinan di DPR/ MPR dikuasai secara telak oleh koalisi Merah Putih (KMP) yang digawangi oleh Ical.

Aksi pembalasan sakit hati Ical kepada Jokowi semakin berlanjut. Penyebabnya adalah kebijakan Jokowi yang membiarkan perpecahan di tubuh Golkar. Bahkan lewat SK Menkumham (Yasonna Laoly) Jokowi mendukung kepemimpinan Agung Laksono melawan Golkar pimpinan Ical.

Sakit hati Ical semakin bertambah terkait kebijakan Jokowi soal ganti rugi korban Lapindo. Ganti rugi kepada korban bencana selama masa SBY terkatung-katung. Barulah di era pemerintahan Jokowi, para korban lumpur Lapindo mendapat ganti rugi yang pantas.

Jokowi mendesak perusahaan Ical untuk membayar ganti rugi Rp 3,8 triliun kepada rakyat yang kehilangan tanah dan rumahnya akibat luapan lumpur Lapindo. Tetapi, perusahaan Ical mengaku hanya punya uang Rp 3,03 triliun. Karena Jokowi tidak mau rakyat terkatung-katung, maka Jokowi mengeluarkan kebijakan talangan. Pemerintahan Jokowi menalangi ganti rugi sebesar Rp 781 miliar agar total nilai ganti rugi menjadi Rp 3,8 triliun.

Penalangan itu bukan membantu perusahaan Ical. Itu adalah dana talangan yang berlaku sebagai utang. Jokowi memberi tenggang waktu 4 tahun kepada perusahaan Ical untuk melunasi dana talangan Rp 781 miliar.

Lahan yang telah diganti rugi (dibebaskan) perusahaan Ical dijadikan jaminan oleh pemerintah. Jika Ical tidak mampu melunasi utangnya dalam tempo yang diberikan pemerintah, maka lahan itu menjadi milik pemerintah. Jelas kebijakan Jokowi ini membuat perusahaan Ical merana.

Kebijakan Jokowi dalam menyelesaiakn kasus Lumpur Lapindo itu membuat Ical kembali sakit hati. Ia sebelumnya mengharapkan pemerintah ikut bertanggungjawab dan membayar sebagian ganti rugi kepada warga. Sakit hati Ical itu terakumulasi sampai sekarang.

Walaupun orang kepercayaannya seperti Setya Novanto, Idrus Marham, Airlangga Hartanto, mendukung Jokowi, namun Ical tetap tidak mau mendukung Jokowi. Ical tetap memilih beroposisi dengan Jokowi lewat corong TV One-nya, khusunya ILC-nya Karni Ilyas.

Ical yang hampir ‘nyaris’ mendukung Jokowi pada Pilpres 2014 lalu tidak pernah menjadi kenyataan. Ia hanya nyaris mendukung Jokowi. Alasannya, Jokowi tidak mau tersandera oleh keinginan Ical yang pengusaha, dan masih termasuk kroni Orba. Begitulah alasannya yang dirangkum kura-kura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.