Kolom Bastanta P. Sembiring: Orang Gila Itu Adalah AHOK

A Man Called Ahok, satu film Indonesia yang saat ini lagi booming, diangkat dari buku berjudul sama karya Rudi Valinka. Film ini menceritakan sebagian dari sisi kehidupan Ahok selama di Belitung. Menurut info, terhitung beberapa hari dari penayangan perdananya di bioskop [Jamis 8/11], film ini sudah ditonton oleh 1 juta orang.

Tulisan ini bukan untuk membahas filmnya, tetapi hendak bercerita tentang pandangan awal saya hingga kini terhadap sosok Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih kita kenal dengan panggilan Ahok. Penggunaan beberapa kata atau istilah di dalamnya tidak bermaksud menghina satu individu atau kelompok (termasuk satuan etnis) tertentu, tetapi hanya untuk menggambarkan pandangan saya dulu dan sekarang.




Saya lahir di Kota Medan. tinggal dan dibesarkan di Patumbak, salah satu kecamatan di Kabupaten Deliserdang yang berbatasan langsung dengan Kota Medan. Sering kami katakan, “peceran rumah kami mengalir ke Medan,” menggambarkan bagaimana dekatnya kami dengan Medan.

Walau tinggal di Kabupaten Deliserdang, praktis lebih 50% dari aktifitas kami berada di Kota Medan. Tetapi kami tidak pernah mau dibilang anak Medan! Saya dulu pernah sekolah di kawasan Percut Sungai Tuan, yang tiap hari melewati komplek-komplek orang Tionghoa.

Sebuah ritual Barongsai di sebuah Kelenteng Budha di Deliserdang

Saya ingat, pernah tumbuh menjadi remaja yang anti asing. Jelasnya anti orang keturunan Tionghoa (kadang ditulis Cina). Penilaian saya sebenarnya beragam terhadap Suku Tionghoa, karena memang yang saya temui juga beragam. Ada yang baik dan yang jahat. Ada yang ramah dan yang sombong. Ada yang cantik dan ada juga yang jelek.

Pasti bukan orang Tionghoa saja yang begitu. Semua suku bangsa demikian. Mau itu Suku Karo, Minang, Melayu, Jawa, Sunda, dsb. Akan tetapi, sudah terlanjur tertanam dalam pikiran ini, kalau orang Cina itu sombong dan jahat (otak mafia), karena demikian narasi yang saya temui soal orang Cina dalam pergaulan.

Tetapi, walau saya kurang suka dengan orang Tionghoa, nyatanya pernah TTM (teman tapi mesra) dengan gadis Tionghoa. Aneh juga, ya? Ha-ha-ha…




Saya ingat sekali foto Basuki Tjahaja Purnama pernah terpampang di beberapa sudut Kota Medan, sebagai salah satu Bakal Calon Gubernur Sumatera Utara. Dalam hati saya, “ngapain pulak si Cina satu ini calon-calon pulak ke Sumut.”

Kata saya sama teman, “Kalau di Berastagi sana udah kami gonikan cina ini!” (cina dalam Bahasa Karo yang dalam Bahasa Indonesia artinya ‘cabe’).

Begitulah pandangan saya dahulu tentang orang Cina.

Tetapi semua berubah sejak kemunculan Ahok di DKI Jakarta. Awalnya saya cuma melihat Ahok dari balik Jokowi. Saya suka Jokowi, makanya saat Ahok si Cina yang mendampinginya, ya, mau tak mau saya juga harus suka dengan Ahok sahabatnya Jokowi. Padahal suka tak suka sama saja, toh saya tidak punya hak suara untuk Pilkada DKI.

Teman-teman diskusi saya di Medsos meyakinkan saya kalau Ahok itu orang baik. Kalau tidak, mana mungkin Jokowi mau berpasangan dengannya. Demikian jelas mereka, panjang lebar. Bahkan teman saya yang paling bejat sekalipun mengakui Ahok orang baik. Ini bikin saya bingung dan penasaran.

Saya sih tidak percaya. Apalagi dari partainya. Orang partai pak Jokowi saja saya tidak percaya, apalagi partainya si Ahok saat itu. Benar tidak?

Tetapi, rasa penasaran mengarahkan saya untuk mengamati Ahok dari jauh. Bayak berita tentang sepak terjangnya dan video-videonya di youtube yang saya tonton, buat saya perlahan kagum.




Kagum karena, menurut saya, dia gila. Sama seperti Riziq. Bedanya Cuma di aliran dan tujuan. Jujur, saya bosan melihat pejabat yang berlagak baik, alim, berwibawa, tegas, formal, apalagi bergaya agamis, dsb. Menurut saya itu sudah basi dan biasa hanya acting doang.

Kemunculan Ahok menurut saya berhasil merubah gaya politisi dan kepemimpinan di negeri ini. Ketegasan bukan main tangan besi, bukan main gonikan (culik), tetapi ketegasan berawal dari keterusterangan dan kejujuran. Bagaimana anda bertindak tegas, kalau tidak berani terusterang dan jujur? Misalkan anda tidak berani terusterang kalau pacar anda itu jelek dan salah! Apakah anda masih berani bilang anda tegas?

Nah, itu awal suka saya sama Ahok. Dia terus terang dan berani, serta jujur. Bukan macam kebanyakan pejabat di negeri ini, yang takut kehilangan jabatan, jadi cari aman, jilat sana – sini. Yang gayanya baik, ramah, dan agamis, nyatanya bengis dan di belakang kelakuannya kayak setan.

Menurut saya, Ahok mewakili satu sisi dalam diri saya, bahkan mungkin sebagian besar rakyat negeri ini yang sudah lama muak dengan sandiwara tetapi terpenjara akibat standart tata krama yang ada, yang nyatanya selama ini hanya topeng. Ahok datang dan menginjak-injaknya bak orang gila yang kesurupan. Memerdekakan kita dari rasa sungkan dan takut salah, hingga akhirnya diam saja. Tapi Ahok mengajak kita, “lawan dan terobos!”

“Bodo amat dengan tata krama yang cuma topeng dan cara halus untuk memberangus”.

Selanjutnya, Ahok menjadi motifasi dan mewakili semangat minoritas untuk membangun negeri. Minoritas tak harus pasrah. Minoritas juga bisa jadi pemimpin, dan minoritas itu juga harus berani melawan ketidakadilan, tetapi tetap dengan cara-cara kebaikan.

Setelah lama saya perlajari, kini saya yakin Ahok itu bukan hanya orang gila, tetapi juga orang baik yang pernah ada di Indonesia ini.

Mejuah-juah Indonesia ??








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.