Kala itu, 2 hari sebelum Pak Tua sang jendral Orba lengser ke prabon, tepatnya 18 Mei 1998, dipanggilah sang panglima ABRI (TNI, red.) untuk menghadap sang penguasa di istana. Saat yang ditunggu pun tiba. Sang panglima nan gagah perkasa itu pun sangat siap untuk menerima instruksi pimpinan tertingginya.
Begitu kagetnya sang panglima ketika mengetahui bukan arahan yang diterima, melainkan Inpres yang selevel dengan “Supersemar” dari Pak Tua untuk dirinya.
Kata Pak Tua: “Surat ini kamu pakai atau tidak terserah kamu.”
Sang panglima itu pun tidak menjawab dan memohon izin untuk mempelajari sembari berpamitan kepada Pak Tua. Di tengah pergulatan batin yang luar biasa antara menolak dan mengiyakan tawaran dari Pak Tua. Sang panglima itu pun mempertimbangkan dengan sangat seksama.
Antara mengikuti nafsu atau hati nuraninya, bila menolak berarti menyia-nyiakan tawaran untuk menjadi penguasa di Bumi Nusantara. Bila mengiyakan maka gelombang perlawanan dari demonstran dan timbulnya korban jiwa akan semakin membesar.
Benarlah apa yang disabdakan Rosululloh SAW bahwa “perang yang sangat berat itu adalah ketika perang melawan nafsu diri sendiri”. Hingga akhirnya sang panglima flamboyan itu pun menolak tawaran menggiurkan dari Pak Tua untuk menjadi pimpinan tertinggi sebuah negara. Sang panglima lebih memilih untuk menggunakan nuraninya daripada nafsu angkara murka, sesuatu yang mungkin tidak semua manusia bisa lulus dari ujian yang maha berat ini.
Suksesi kepemimpinan itu pun berlangsung damai tanpa jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak lagi. Hingga masuklah kita ke dalam era kebebasan berekspresi yakni Era Reformasi. Tak terbayang apabila sang panglima waktu itu bukanlah beliau. Belum tentu kita bisa menjadi negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia. Belum tentu pula si golden leader Joko Widodo akan muncul ke permukaan dan menjadi pemimpin di Bumi Nusantara.
Pertanyanya, kenapa Pak Tua tidak menunjuk saja si mantu untuk menjadi sang panglima saat itu? Padahal “katanya” dia hebat dalam prestasi militernya. Mungkin saja Pak Tua juga gak suka dengan sikap mantunya yang cenderung arogan dan emosian? Yang pasti, jawaban yang paling tepat adalah, bahwa semua kehidupan di dunia ini sudah diatur secara detail oleh Sang Maha Kuasa.
Terimakasih sang panglima, jasa-jasamu dalam menjaga keutuhan NKRI dari kehancuran tak akan pernah kami lupakan. Senior dan juniormu banyak yang respek terhadapmu. Semoga keberkahan dariNya ada selalu dalam kehidupanmu. Kami sebagai rakyat jelata sangat berharap banyak kepadamu. Jagalah NKRI ini dari rongrongan kaum radikal dan intoleran. Jagalah bangsa ini dari perpecahan yang diakibatkan oleh segelintir manusia bangsat antek Mama Rika.
Dan satu lagi jendral, kami titipkan pemimpin kami yang saat ini tengah berjuang untuk mengembalikan lagi hegemoni NKRI di mata dunia. Dialah pemimpin pilihan kami, dialah harapan kami untuk memajukan bangsa ini. Walaupun bertampang ndeso tapi hatinya tulus untuk mengabdi bagi sang Ibu Pertiwi. Dialah Jokowi sang panglima tertinggi..
Orang baik akan berkumpul dengan orang yang baik pula. Dan orang-orang yang berhati busuk cenderung berkumpul dengan orang yang busuk pula. Hormat selalu untukmu jendral Wiranto. Laksanakan perintah kami sebagai pemegang mandat tertinggi, yakni rakyat Indonesia, bumi Nusantara tercinta.
Rahayu rahayu rahayu ….
Salam Jemblem
Kedewasaan yang meningkat cepat tetapi meyakinkan terlihat dalam diri sang panglima Jokowi dan juga dalam diri ex panglima Wiranto. Dalam diri panglima tertinggi Jokowi terlihat jelas dalam keahliannya memilih berbagai pekerjanya, kepandaian mana sangat jarang ditemui dalam diri presiden-presiden sebelumnya. Apa juga karena perubahan zaman ya? Maksud saya karena aliran informasi dan pengetahuan yang sangat cepat itu, sehingga bagi yang pandai mengikuti seperti pak Jokowi mengakibatkan perubahan luar biasa dalam dirinya (individual growth).
Pengetahuan aktual yang harus dimengerti bagi semua orang sekarang ialah pengetahuan ‘kolot’ yang seharusnya sudah diketahui ratusan tahun lalu yaitu pengetahuan soal taktik divide and conquer untuk menguasai manusia dunia, Pengetahuan ini telah dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu dan telah berhasil jadi elit dunia sampai sekarang. Terbongkarnya kelompok elit ini baru terjadi pada era keterbukaan abad 21, karena internet dengan aliran informasi dan pengetahuan yang sangat pesat dan cepat dari semua dan untuk semua. Salah satu pengetahuan ‘kolot’ ini yang sudah bikin ratusan juta jiwa manusia jadi korban dan bikin segelintir elit jadi kaya raya menguasai duit finans dunia ialah diciptakannya dua grup atau dua ideologi manusia yang berhasil sukses membelah kemanusiaan dan kemudian untuk diadu domba dimana perlu.
Diciptakannya dua ideologi ini (kiri dan kanan) dan dengan brainwashing dikedua pihak, dan juga dengan mempersenjatainya, telah menjadi malapetaka dunia yang luar biasa. Dalam era keterbukaan, taktik dan strategi ini sudah hampir sepenuhnya ditelanjangi. Tinggal yang masih bisa dipakai oleh elit ini ialah orang-orang yang sangat jauh dari perubahan cepat itu, yang juga dinamakan kaum ‘radikal’. Orang-orang ini tidak bersalah dan bukan musuh kemanusiaan. Sebab utama harus dipelajari ialah mengapa orang-orang ini belum juga belajar sehingga pengetahuan ‘kolot’ itu masih belum terbaca sampai sekarang, sehingga elit divide and conquer itu masih bisa menggunakan grup manusia ini.
MUG