Kolom Darwono Tuan Guru: Guru dari Pendidik ke Pengajar

guru-20



Kata guru, menurut  J.E.C. Gericke dan T. Roorda yang dikutip oleh Ir. Poedjawijatna berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya berat, besar, penting, Darwono Tuan Gurubaik sekali, terhormat dan juga berarti pengajar. Dalam bahasa Inggris dapat dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan guru. Kata teacher berarti guru, pengajar kata educator berarti pendidik, ahli mendidik dan tutor yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar di rumah, memberi les (pelajaran).

Masyarakat Jawa,  memandang guru sebagaimana  akronim gu dan ru. “Gu” yang dipahami sebagai  digugu (dianut) dan “ru” berarti bisa ditiru (dijadikan teladan). Pemahaman masyarakat akan figur yang digugu dan ditiru ini senantiasa menuntut seorang guru untuk menajaga jati dirinya sebagai figur “uswah hasanah”, teladan yang baik, termasuk dalam nilai-nilai ideal kebangsaan masyarakatnya.

Oleh karena itu, jika kita membaca sejarah perjuangan bangsa, maka nampak sekali peran “guru-guru” terutama guru sekolah bumi putera (swasta di Zaman kolonial Belanda) yang menjalankan fungsi keteladanannya dalam komitmen kebangsaan Indonesia dengan menanamkan nasionalisme Indonesia yang melahirkan pergerakan Kemerdekaan Indonesia.

guru-22Membaca sejarah perjuangan bangsa, kita akan  mengapresiasi  jasa-jasa para guru dalam menamkan dan mengobarkan nasionalisme Indonesia. Tanpa peran guru (ustadz, kyai, ulama) yang mengobarkan nasionalisme di sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah, Sarikat Islam maupun Taman Siswa maupun madrasah dan pesantren Nahdatul Ulama maka pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah lahir.

Generasi muda Indonesia saat itu akan menjadi “noni noni dan sinyo-sinyo” berkulit coklat dengan kehidupan bebas ala Eropa yang dibawa oleh kolonial Belanda. Tugas guru dalam kontek pergerakan kemerdekanan benar-benar sangat penting, terhormat dan juga berat sesuai makna yang terkandung pada bahasa asalnya, Sansekerta.

Secara umum dapat diungkapkan di sini bahwa peran guru tidak sekedar hanya sebagai pengajar dalam makna mengajarkan ilmu tertentu saja, misalnya Matematika, IPA, IPS dll, tetapi guru adalah pendidik, baik di kelas, di luar kelas juga di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu, di tengah kehidupan masyarakatpun seorang guru memiliki peran sentral dan terhormat.


[one_fourth]aktivis Posyandu, PKK, RT, RW mayoritas dipegang oleh para guru[/one_fourth]

Seorang guru adalah tempat bertanya, tempat dimintai nasehat. Pendek kata kehidupan seorang guru benar-benar menyatu dengan degup kehidupan masyarakatnya. Peran guru yang demikian dapat dirasakan oleh kita semua bahkan hingga saat ini teriutama di daerah-daerah tertentu, aktivis Posyandu, PKK, RT, RW mayoritas dipegang oleh para guru.

Namun demikian, peran ini dalam prediksi penulis akan segera berakhir seiring tuntutan tugas seorang guru menjadi pengajar profesional, meskipun di dalam UU tentang guru dan dosen, guru dinyatakan sebagai pendidik profesional.

Seperti kita ketahui, bahwa  menurut UU No. 14 tahun 2005 Bab I Pasal satu dinyatakan, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, guru-21mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Namun dengan beban tugas yang ada yakni yang diatur dalam Pasal 35 UU Guru dan Dosen ayat  (1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Maka pergesaran peran guru dari pendidik menjadi sekedar tenaga pengajar tidak dapat dihindari.

Apalagi ketika beban kerja guru dituntut sesuai dengan kewajiban jam kerja yang disyaratkan dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja itu meliputi [Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan]: a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.




Seperti kita pahami, bahwa tutuntuan beban kerjja sebagaimana diuraikan di atas akan efektif diberlakukan per 1 Januari 2017 dimana bagi guru PNS harus berada di sekolah selama 8 jam, maka peran guru sebagai pendidik akan bergeser menjadi sekedar sebagai pengajar benar-benar tidak terelakkan.

Untuk masyarakat di wilayah tertentu, akan kehilangan figur-figur guru yang mendidik dengan menggerakkan kegiatan pembangunan desanya. Seluruh energi guru telah dihabiskan di sekolah, pulang sore, dan hari libur. Sebagaimana berita yang santer beredar adalah hari untuk keluarga. Kapan untuk mendidik dan berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat seperti selama ini?

Ada 2 hal besar yang dapat ditimbulkan dari kebijakan Mendikbud Muhajir Effendi. Pertama, sekolah full day akan memberangus sekolah-sekolah agama TPA, dll. yang biasa dilaksanakan sore hari. Ke dua, dengan keharusan 8 jam di sekolah adalah pendidikan bagi masyarakat melalui PKK, RT/RW yang biasa dihandle oleh para guru terutama di wilayah pedesaan. Padahal pendidikan keluarga adalah modal utama bagi keberhasilan pendidikan nasional.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.