Kolom Edi Sembiring: ANTARA ANIES DAN PRIBUMI SUMATERA TIMUR

Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang.”

 

Pribumi mana yang paling hapal muka sadis kolonial? Pribumi mana yang puluhan tahun dikejar-kejar secara buas oleh tentara kolonial? Bukan di Jakarta seperti katamu, pak:

“Dan Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat. Selama ratusan tahun, di tempat lain penjajahan mungkin terasa jauh. Tapi di Jakarta, bagi orang Jakarta kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari-hari……”

Perang Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. 31 tahun lamanya.

Perang Sunggal atau Perang Tanduk Benua (keduanya disebut juga Perang Karo) dari tahun 1872-1895. Perang 23 tahun yang bahkan tak menghasilkan gelar Pahlawan bagi pejuang bermerga Surbakti. Sementara saat itu Kolonial Belanda hampir bangkrut ketiadaan dana untuk membiayai perang ini.




Setelah berhasil dilumpuhkan, tanah ulayat kaum pribumi habis dirampas dan dibangun perkebunan milik orang Eropah. Dikeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Akhirnya tahun 1916 tercatat 320 perusahaan besar (tidak termasuk cabang) yang beroperasi. Di daerah Deli Serdang sekitar 120 perusahaan, Langkat 67 perusahan, Simalungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan. Berkapal-kapal buruh kontrak dari Jawa didatangkan.

Pembunuhan massal yang dilakukan oleh Van Dalen terhadap Suku Gayo (Aceh) dalam ekspedisinya menggempur Pasukan Suku Karo dari “belakang” untuk mengamankan perkebunan tembakau asing (Eropah dan Amerika) di Karo Hilir (Deli Hulu).

Begitu pentingnya arti Sumatera Timur bagi Belanda sehingga disemboyankan: ”Moluken Is Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de Toekomst.” Artinya, Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang.

Bukan di Jakarta, pak. Kolonialisme lebih pahit di sini. Menjadi terasing di tanah ulayat sendiri. Bahkan suku-suku dikotak-kotakkan demi politik devide et impera. Kolonialisme menyuburkan feodalisme.

Banyak cara menarik hati, tapi perlu lebih memilih kata-kata yang baik dan benar. Bahkan untuk menjelaskannya pun, kau tetap salah:

Terkait pidato tersebut, Anies pun meluruskan konteks dalam pernyataan tersebut.

“Itu pada konteks pada era penjajahan. Karena saya menulisnya juga pada zaman penjajahan dulu karena Jakarta itu kota yang paling merasakan,” kata Anies kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta [Senin 17/10].

Sudah, tak perlu ada lagi istilah pribumi dan non pribumi yang menyakitkan itu. Cukup hanya ada di Jaman Kolonial.

Foto header: Murni Surbakti dalam busana tradisional Suku Karo.

Catatan Redaksi: Video di bawah adalah dialog bathin pencipta lagu dengan para Pejuang Kemerdekaan yang telah “mendahului kita” ke alam baka. Video ini juga memperlihatkan bahwa roh-roh itu bukan hanya objek untuk dikenang tapi mereka juga adalah subjek yang mengobservasi bagaimana kita melanjutkan Kemerdekaan.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.