Kolom Edi Sembiring: MAENKAN MUSIKNYA, PAK DJAROT

Kehadiran suku Jawa sudah ramai di Sumut sejak tahun 1863. Saat itu kapal Josephine membawa orang-orang Jawa dari Jawa Timur untuk perkebunan tembakau di Deli. Awalnya Jacobus Nienhuys (1836-1928) dari Firma Van Den Arend yang membawanya.

Tanaman tembakau yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys terkenal hingga ke Eropah. Daun pembungkus cerutu terbaik di dunia.

November 1869 Jacobus Nienhuys mendirikan perusahaan Deli Maatschapij. Suatu badan usaha yang membawahi sekitar 75 daerah perkebunan di Sumatra Timur yang berasal dari usahawan mancanegara seperti Jerman, Inggris, Swiss, Belgia dan Amerika. Pada tahun 1870 Deli Matschapij memindahkan kantornya dari Labuhan ke Medan.







Lahan yang subur dan mudahnya tenaga kerja didatangkan dari Jawa, menyebabkan banyaknya pengusaha Eropah yang berinvestasi di Pantai Timur Sumatera. Jumlah pengusaha perkebunan tercatat pada tahun 1891 yakni sebanyak 169 perusahaan.

Tan Malaka antara tahun 1920-1921 pernah menjadi guru di perkebunan Senembah Tanjung Merawa, melukiskan keadaan Sumatra Timur seperti ini:

“…. Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar… Di sana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga kerja, serta antara penjajah dan terjajah …. “

Perkebunan-perkebunan tembakau, karet, teh, kelapa sawit yang berkembang cepat sesudah tahun 1900, bergantung sepenuhnya pada pekerja-pekerja Jawa. Namun, hidup mereka tidak semanis kontrak yang disepakati.

Kontrak 3 tahun tak pernah berakhir, karena mereka tetap dimiskinkan dan tak mampu untuk pulang. Kemelaratan para kuli kontrak yang bekerja dalam perkebunan ini adalah akibat sistem Poenale sanctie yang diterapkan kepada kuli kontrak tersebut.

Kini, Suku Jawa di Sumatera Utara (Sumut) ada lebih dari 33% dari penduduk Sumut. Sejarah megahnya Kota Medan dan terbentuknya kota-kota di Sumut tidak terlepas dari aktifitas ratusan perkebunan itu. Dan tidak lepas pula dari penderitaan para kuli-kuli kontrak itu.

Goudland bukan lagi surga bagi pengusaha-pengusaha Eropah. Keringat dan darah dalam membangun sarana transportasi kereta api, jalan dan jembatan, lapangan udara, pelabuhan laut, pipa air bersih, perkantoran, pertambangan minyak, rumah sakit, sekolah hingga pusat pasar juga menjadi bukti kehadiran para kuli-kuli dari Jawa di Sumut.




Kini semua sudah berbaur. Itu sebab dalam pemilihan kepala daerah di Sumut, perbedaan suku tidak menjadi perdebatan. Dan saatnya Sumut harus memilih pada Pilgub 2018 ini.

Uis (kain tenun Karo) Beka Buluh sudah di pundak, tanggung jawab yang diemban. Tinggal mainkan musiknya, Pak Djarot.

Tan Malaka, si peniup suling bagi anak kuli, akan mengiringi. Tan Malaka akan bangga, karena tujuan pendidikan yang ia inginkan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan, kini sudah tercapai.

HEADER: Djarot menabuh gendang Suku Jawa di Sumut sedangkan kain tenunan Suku Karo tersemat di pundaknya.

VIDEO ATAS: Malam kolaborasi seni pertunjukan Suku Karo dengan Suku Jawa (KaroJa) oleh Anak-anak Simpang Tuntungan, tepi Kota Medan, dimana sebagian besar warganya adalah dari Suku Jawa dan Suku Karo. Hubungan harmonis antara Suku Jawa dengan Suku Karo bisa ditemukan di Langkat Hulu dan Deli Hulu. Di sana, orang-orang Karo lancar berbahasa Jawa dan orang-orang Jawa lancar berbahasa Karo.

VIDEO BAWAH: Lagu dari Ligad Tarigan (putra Suku Karo) untuk kemenangan pasangan Djarot dan Sihar. 



https://www.facebook.com/ligad.tarigan/videos/1885064548234407/







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.